Prabu Reksa adalah seorang raja yang sangat berkuasa. Ia memiliki istana yang megah di dasar lembah. Pada suatu malam sang Prabu bermimpi tentang taman swargaloka yang dihiasi kolam-kolam pemandian yang indah. Ia ingin sekali mewujudkan mimpi itu.
Ratusan ahli bangunan dan pemahat terbaik didatangkan untuk membuat rancangan taman, mengukir relief, dan memahat arca. Ribuan pekerja dikerahkan untuk menyusun batu kali raksasa. Membentuk punden berundak-undak dengan jenjang batu kokoh menuju kolam air mancur sebagai tempat pemandian sang Raja.
Air sejernih kaca mengalir menuju kolam-kolam yang luas. Air kolam tersebut berasal dari anak sungai yang dibendung. Mata airnya bersumber dari kaki gunung. Tepian kolam dihiasi pualam. Dibuat pula di sekelilingnya candi-candi dengan gapura batu yang megah. Taman itu dipenuhi beraneka ragam pohon buah-buahan dan bunga yang didatangkan dari penjuru dunia. Ketika proyek itu rampung, sang Prabu terkesima melihat hasilnya. Sebuah taman terindah seperti yang pernah diimpikannya.
Karena terlalu mengagumi keindahannya, Prabu Reksa tak mengizinkan seorang pun melihat taman itu. Dia ingin menikmati keindahan taman itu seorang diri. Sang Prabu menutup pintu masuk ke taman istana. Karenanya taman itu disebut taman rahasia.
Bila hatinya gelisah, Prabu Reksa pergi menyendiri di taman itu. Tapi lama kelamaan keindahan taman itu pun tak mampu mengusir kegalauan jiwanya.
Sementara di hulu sungai tersebutlah suatu desa. Seluruh penduduknya biasa mandi, mencuci, dan mengail di tepi sungai itu. Suatu hari, seorang pemuda desa yang bernama Panji, mengayuh sampan mencari ikan. Tapi sungguh sial nasibnya hari ini, tak seekor ikan pun yang berhasil ditangkapnya.
Panji yang kelaparan dan kelelahan tertidur di atas sampan. Tanpa disadari arus air mendorong sampannya menuju hilir di lembah gunung sebelah utara. Sampailah sampan Panji di kolam pemandian Prabu Reksa. Panji terbangun dari tidurnya. Dia terkejut melihat sampannya terombang-ambing di kolam yang sangat luas, dikelilingi kebun buah dan bunga yang sangat indah. Panji menepi. Dia segera turun dari sampannya yang ditambatkan pada sebuah arca berkepala singa.
Terdorong rasa lapar, Panji langsung memanjat pohon dan melahap buah-buahan yang tersedia di kebun itu. Mangga, rambutan, manggis, sawo… semua disantap sekenyang-kenyangnya.
Tapi tiba-tiba datanglah Prabu Reksa yang hendak berendam di kolam istana. Dia sangat murka melihat ada seorang penyusup masuk ke taman rahasianya.
“Hei penyusup, jangan lari! Ayo, kembali!” teriak Prabu Reksa marah. Suaranya menggelegar bagai halilintar. Panji meringkuk gemetar. Prabu Reksa mengerahkan pengawalnya untuk menangkap pemuda itu.
“Beribu ampun Gusti Prabu, hamba tidak berniat mencuri, hamba hanya tersesat dan lapar!” jawab Panji terbata-bata.
“Bohong! Kau pasti sengaja menyusup untuk melihat keindahan tamanku!” tuding Prabu Reksa.
“Sungguh Gusti Prabu, sampan hamba hanyut dari sungai tempat hamba tinggal hingga ke kolam istana.”
“Apa pun alasanmu, kau tetap kuhukum karena berani mengintip taman rahasia. Hukuman yang pantas kau terima adalah hukuman mati!”
Panji menggigil ngeri membayangkan nasib buruk yang akan menimpanya. Dalam keadaan terdesak, dia coba berbicara.
“Ampun Gusti Prabu, bukannya hamba hendak membantah. Tapi hukuman itu kurang adil bagi hamba. Sebab hamba pernah melihat taman yang lebih indah dari taman istana, tapi tak ada larangan bagi siapa saja untuk menikmatinya. Bahkan hamba bebas berendam di kolam pemandiannya.’
Prabu Reksa mengrenyitkan kening. Hatinya panas mendengar ucapan Panji. Mustahil ada taman yang lebih indah dari tamannya, apalagi untuk tempat pemandian rakyat jelata! Ah, ini pasti cuma akal-akalan pemuda desa itu supaya dibatalkan hukumannya. Tapi Prabu Reksa penasaran untuk membuktikan kebenaran ucapan Panji.
“Kalau begitu bawa aku ke sana. Kalau dapat membuktikan ucapanmu, kau akan kubebaskan dari hukuman. Tapi kalau kau hanya membual, tubuhmu akan kujadikan umpan buaya!”
Akhirnya dengan diiringi pengawal dan punggawa istana, Panji mengantar Sang Prabu berlayar menyusuri sungai menuju hulu. Perjalanan yang ditempuh cukup panjang, melintasi hutan yang merimbuni sepanjang tepian sungai. Diam-diam Prabu Reksa berdecak kagum melihat keindahan alam di sekitarnya. Selama ini dia tak pernah tahu betapa elok negeri yang dipimpinnya.
Setibanya di sana, hari menjelang senja. Prabu Reksa takjub melihat kolam yang terhampar luas dengan hutan kecil di sekelilingnya. Suara gemericik air terjun memecah bebatuan. Airnya tercurah deras dari ketinggian. Bahkan air mancur di kolam istana tak mampu menyaingi keindahannya. Penduduk desa beramai-ramai turun mandi. Sungguh mengagumkan melihat wajah penduduk yang berseri-seri. Bahkan bocah-bocah kecil tampak bahagia. Mereka bermain air dan melompat dari bebatuan. Kicauan burung-burung liar meneduhkan perasaan. Beberapa ekor kera bergelantungan di pucuk pepohonan.
“Sungguh taman swargaloka terindah yang pernah kutemukan. Siapa yang membuatnya? Sungguh pintar perancang bangunan itu!” gumam Prabu Reksa. Terbersit keinginan untuk mengubah taman istananya menjadi serupa taman di kaki tebing itu.
“Bukan hanya pintar, tapi Maha Pintar, Gusti Prabu!” sahut Panji pelan.
“Siapa seniman itu?”
“Tuhan Yang Maha Pencipa, Gusti Prabu!”
Prabu Reksa mengerutkan kening, lalu tepekur sesaat. Dia menepuk keningnya. Ah, betapa tololnya aku! Batin sang Prabu tersipu malu. Tentu saja taman itu menjadi taman yang terindah! Karena, Tuhan-lah yang menciptakannya. Tak seorang seniman pun yang mampu menyaingi kehebatannya. Prabu Reksa turun mandi, bahkan bermain dengan anak-anak kecil yang mengelilingi perahu layarnya yang megah.
Sejenak Prabu Reksa melupakan persoalannya. Hatinya tak lagi gundah. Penduduk desa telah membagi kebahagiannya. Walau taman di pinggir desa itu sangat menakjubkan, tapi penduduk tak pernah merahasiakannya. Siapa pun boleh menikmati air yang sejuk dan pemandangan yang indah.
Akhirnya Panji dibebaskan dari hukuman. Sekembalinya ke istana, Prabu Reksa langsung membuka pintu masuk ke taman rahasia. Sekarang siapa pun boleh menikmati keindahan tamannya. Ternyata menikmati bersama-sama terasa lebih menyenangkan, ya?
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR