Terdengar seseorang memanggil namanya. Oh, Nanang! Cepat-cepat Tio mengelap tangannya dan bergegas menyongsong temannya di halaman.
"Cuci piring, ya?!" Nanang meringis.
"Sudah kubilang, itu tugasku!" ketus suara Tio.
"lya, ya!" Nanang menggumam.
"Maafkan aku mengata-ngataimu banci. Waktu Mama menyuruhku beli telur tadi pagi, aku jadi ingat kamu."
Tio diam saja.
"Aku tak pernah cuci piring di rumah tapi aku biasa bantu Mama mengerjakan yang lain," kata Nanang lagi. "Memakaikan baju ke adik bayiku atau belanja ke pasar untuk kekurangan isi dapur."
Tio jadi ingat sering dibonceng Nanang dengan sepeda ke pasar. Mereka sama-sama disuruh membeli kebutuhan dapur yang lupa dibeli ibu masing-masing. Atau, mereka berdua sering antre beli nasi goring untuk keluarga di warung pojok. Ah, menolong ibu seperti itu apa mesti dibilang banci?
Tio nyengir.
"Aku juga banci, ya! "Nanang terkekeh. "Aku bela kamu kalau besok teman-teman masih mengolok-olokmu."
"Tak apa-apalah," jawab Tio. "Mereka pasti sering membantu mama mereka, tapi tak sadar. Biar sajalah, Nang."
Setelah temannya itu pamit, Tio mendapati Mama berkacak pinggang di pintu dapur. "Kenapa jendela kau tutup lagi?!" suaranya lebih ketus dari tadi.
"Akan kukaitkan sekarang!" Tio menerobos masuk.
"Apa, sih, maumu?"
Tio tersenyum lebar. Masa perlu diceritakanke Mama?!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR