Pagi itu Nina dibangunkan oleh harum masakan 17 Agustus, hari kemerdekaan. Wow, senangnya. Di taman di kompleks perumahan sudah dipasang awning dan bangku-bangku. Juga hiasan bendera merah putih.
"Nanti aku akan ikut lomba makan kerupuk dan lomba memasukkan benang ke jarum. Lomba tangkap belut aku tak mau!" pikir Nina.
Terbayang di matanya belut-belut yang menggeliat di tanah dan anak-anak bergegas menangkapnya. Tapi, iiih, Nina tak sanggup memegang belut-belut itu.
Nina melompat bangun, lalu bergegas ke kamar mandi. Ia melewati dapur. Ibu sedang mengulek kentang dan Mbok Inten mengiris tempe. Harum rendang yang sedang dimasak sungguh menggugah selera. Di meja makan ada dua buah tampah besar dan sebuah tampah kecil.
"Wow, kok, tumpengnya ada anaknya, Bu!" Nina menunjuk tampah kecil.
"lya, Ibu mau bikin tumpeng kecil, untuk Nek Sumirah!" kata Ibu.
"Kok, Nek Sumirah dibuatkan tumpeng? Memangnya ulang tahunnya sama dengan HUT Proklamasi?" tanya Nina heran. Nek Sumirah adalah tetangga Nina. Usianya sudah 70 tahunan.
la tinggal dengan anaknya yang sudah menjanda dan tiga orang cucunya. Anaknya berjualan nasi uduk di depan rumah dan sehari-hari Nek Suminten membantunya. Ya, kadang-kadang ada juga, sih, yang bertanya soal kesehatan pada Nek Sumirah. Maklum, konon Nek Sumirah itu mantan perawat.
"Bukan ulang tahun. Tapi, diam-diam Nek Sumirah itu rupanya seorang pejuang kemerdekaan. Sudahlah, mandi dulu. Nanti Ibu ceritakan!" kata Ibu.
Di kamar mandi, rasa ingin tahu Nina memuncak. Apa benar Nek Sumirah itu pejuang? Kok, selama ini tak ada yang tahu?
Mengapa selama bertahun- tahun tak ada yang berbicara tentang soal itu? Aneh juga. Setelah mandi dan berdandan rapi, Nina menagih janji Ibu. Sambil menikmati nasi uduk, Nina mendengar ibunya bercerita.
"Begini, waktu zaman perjuangan kemerdekaan, Nek Sumirah itu baru berumur 17 tahun. la merawat pejuang-pejuang kita yang terluka dalam pertempuran. Salah seorang prajurit yang terluka adalah Bapak Ahmadi. Cukup lama Nek Sumirah merawat Bapak Ahmadi. Kemudian mereka berpisah karena Bapak Ahmadi pindah tugas ke daerah lain. Mula-mula mereka sering berkirim surat. Namun akhirnya mereka kehilangan kontak. Setelah negara kita merdeka, Nek Sumirah masuk sekolah perawat. Akhirnya ia bekerja di rumah sakit sampai pensiun!"
"Nek Sumirah yang menceritakan itu pada Ibu?" tanya Nina. Ibu menggeleng.
"Nek Sumirah tak pemah bercerita. Tapi, bulan lalu ada seorang kakek menanyakan Nek Sumirah pada Pak RT. Kakek itu adalah Pak Ahmadi. la lama tinggal di luar negeri dan bertahun-tahun mencari jejak Nek Sumirah. Pak Ahmadi tahu alamat Nek Sumirah dari seorang teman Nek Sumirah. Nah, Ibu tahu dari Pak RT kalau Nek Sumirah itu ternyata seorang pejuang!"
"Jadi Pak RT minta Ibu membuatkan tumpeng kecil ini?" tanya Nina.
"Kalau aku jadi Nek Sumirah, aku takkan berdiam diri. Aku akan cerita pada orang-orang sekampung. Kan, untung. Bisa-bisa tiap tahun dapat tumpeng!" Ibu dan Mbok Inten tersenyum.
"Bagi Nek Sumirah, merawat para pejuang itu tak perlu dipamer-pamerkan. Tak perlu minta hadiah!" kata Ibu.
"Itu baru namanya pejuang sejati, Non!" tambah Mbok Inten.
"Pak Ahmadi itu selalu ingat budi baik Nek Sumirah. Itu sebabnya ia mau bersusah payah mencarinya!" kata Ibu.
Setelah tumpeng kecil selesai dihias, Ibu menyuruh Nina mengantarkannya ke rumah Nek Sumirah.
Nina masuk ke ruang tamu Nek Sumirah yang kecil. Nek Sumirah sudah berdandan rapi.
"Sampaikan terima kasih Nenek pada ibumu. Sebetulnya tak usah repot-repot. Nenek jadi malu menerima hadiah ini!" kata Nek Sumirah.
"Lo, kok malu, Nek. Kan, Nenek ini pejuang kemerdekaan. Mestinya malah Nenek dapat hadiah yang lebih besar!" kata Nina.
"Walah, walah! Banyak orang yang sudah berjuang untuk kemerdekaan negara kita. Ada yang mengorbankan nyawanya, ada yang cacat akibat pertempuran. Nenek ini hanya membantu sekedar yang Nenek bisa. Tidak patut dibesar-besarkan!" Nenek Sumirah menjelaskan dengan semangat.
Nina senyum tersipu-sipu. Aaah, ternyata Nenek Sumirah seorang yang luar biasa. la begitu rendah hati. la tidak menganggap dirinya penting. Tiba-tiba, Nina merasa dirinya begitu kecil. Ia belum memberikan apa pun untuk bangsa dan negara. Kemudian Nina pamit.
“Terima kasih, ya Nina. Belajarlah yang rajin. Supaya kelak jadi orang yang berguna untuk bangsa dan negara!" pesan Nek Sumirah.
"Ya, Nek!" jawab Nina dengan hormat. Pesan itu terasa sangat berharga karena diucapkan oleh seorang nenek pejuang.
Bagi Nina, Nek Sumirah bukan sekedar penjual nasi uduk. Nek Sumirah patut diteladani. Ia seorang pejuang kemerdekaan yang rendah hati.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR