Runi mengajak teman-temannya menginap di rumah barunya yang besar. Mereka membuat perkedel sukun bersama Bu Dini, ibu Runi. Keyla, Naura, Salsa, dan Nia senang sekali. Beberapa dari mereka baru kali ini melihat sukun, apalagi memakannya. Riuh sekali suara di dapur sampai terdengar sesuatu dari lorong.
“Tuk…tuk…tuk…,” terdengar langkah di lorong menuju dapur.
Mendengar langkah itu, semua kepala menoleh ke sumber bunyi. Teman-teman Runi saling mendekat. Mereka ketakutan. Dari lorong itu keluar seorang kakek bertubuh kurus. Kakek itu mengenakan sarung dan kaos oblong. Di tangan kanannya ada 7 buah pensil berujung tumpul. Tangan kirinya memegang tongkat. Tongkat itulah yang menimbulkan bunyi tuk tuk tuk. Keyla, Naura, Salsa, dan Nia merapat. Tanpa sadar, mereka semua berlindung di balik tubuh Runi.
“Perkenalkan, ini Datuk, kakeknya mamaku. Datuk adalah pemilik rumah ini,” kata Runi sambil mendekati Datuk.
“Selamat datang di rumah kami,” sapa Datuk dengan ramah.
Mendengar suara ramah itu, teman-teman Runi tidak lagi berdiri merapat. Bergantian mereka bersalaman dengan pria tua bertubuh kurus itu.
“Runi, Datuk minta tolong runcingkan pensil. Pake alat yang diputar-putar itu, lo,” pinta Datuk sambil menyodorkan pensil-pensilnya.
“Ayo kita ke perpustakaan,” ajak Runi.
Datuk dan anak-anak perempuan itu segera menju ke perpustakaan. Di tempat itulah ada alat peruncing pensil yang diputar-putar. Sebelum ada alat ini, Datuk meruncingkan pensilnya dengan pisau. Datuk suka menulis menggunakan pensil. Bu Dini khawatir Datuk akan melukai dirinya sendiri karena penglihatan Datuk sudah tidak setajam dulu. Bu Dini kemudian meminta anak-anaknya meruncingkan pensil-pensil kakeknya itu. Runi dan Rudi mengerjakan tugas ini dengan gembira. Bagi mereka, meruncingkan pensil seperti sebuah permainan. Tak jarang mereka berebutan.
Srrrrt…. Srrrrtt… Pensil pertama sudah selesai diruncingkan. Runi sudah bersiap mau mengambil pensil kedua sebelum kumpulan pensil itu diambil oleh Rudi.
“Aku juga mau meruncingkan pensil,” kata Rudi.
“Bagaimana kalau masing-masing anak meruncingkan 1 pensil?” usul Datuk ketika melihat kedua anak kembar itu akan bertengkar.
“Usul yang bagus, Datuk,” sambut Naura, sahabat Runi.
Naura tahu, kalau sampai sahabatnya itu bertengkar dengan adiknya, maka Runi akan ngomel selama berjam-jam. Kadang-kadang sampai menangis.
“Sementara itu, Datuk akan bercerita,” kata Datuk.
“Asyiiiik. Aku suka sekali dengar cerita Datuk,” sambut Runi.
“Datuk akan bercerita tentang pohon-pohon di halaman rumah ini. Terutama pohon-pohon yang buahnya bisa dimakan,” kata Datuk memulai ceritanya.
Runi langsung terlonjak gembira. Dia memang suka mendengar cerita, dan Datuk adalah orang yang suka bercerita. Datuk sering mendongeng dan juga bercerita tentang perjalanan hidupnya. Runi paling suka cerita tentang makanan karena ia suka makan. Rudi suka cerita tentang petualangan.
“Pohon sukun yang buahnya kalian makan tadi, Datuk tanam tak lama setelah kelahiran anak Datuk yang pertama. Bibit pohon itu Datuk dapatkan dari seorang teman. Datuk menyiram pohon itu setiap hari. Ssst… Datuk dulu sering berbicara dengan pohon itu, lo. Datuk bilang supaya tumbuh besar dan berbuah banyak,” ujar Datuk.
“Sekarang buahnya benar-benar banyak,” tanggap Runi.
Tanggapan Runi disambut oleh tawa gembira anak-anak itu. Pohon sukun itu buahnya memang banyak. Mereka baru saja makan sukun goreng. Sisanya mereka buat menjadi perkedel sukun. Selain itu, masih ada banyak buah di pohonnya.
Setelah bercerita tentang pohon sukun, Datuk bercerita tentang pohon rambutan, mangga, nangka, dan jeruk. Datuk menutup ceritanya dengan dongeng tentang semut yang mencari makan di kebun jeruk.
“Datuk, semua anak sudah meruncingkan 1 pensil. Ini masih ada 1,” ucap Rudi memotong cerita Datuk.
Rudi sudah hendak meruncingkan pensil itu saat Datuk memegang tangannya.
“Yang ini biar Datuk saja yang meruncingkan,” ujar Datuk.
Rudi segera menyerahkan pensil itu ke Datuk. Datuk pun mencoba menggunakan alat peruncing pensil. Awalnya Datuk kesulitan. Akhirnya Datuk berhasil meruncingkan pensilnya. Ini adalah pensil pertama yang Datuk runcingkan dengan alat itu.
“Horeeee!” sorak mereka semua.
“Anak-anak, ayo makan. Makan malam sudah siap,” terdengar suara Bu Dini.
“Ayo kita makan dulu. Nanti malam Datuk mau mendongeng. Siapa yang mau dengar?” tanya Datuk.
Serempak anak-anak yang ada di situ mengangkat tangannya. Bahkan Bu Dini juga mengangkat tangannya. Mereka semua suka mendengar cerita Datuk. Malam ini adalah malam cerita.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sylvana Hamaring Toemon
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR