Pak Shirozaemon mempunyai toko yang terbesar di kotanya. Tokonya menyediakan kue dan teh yang terbaik. Pak Shirozaemon punya banyak pelayan untuk melayani pembeli. Ketua pelayannya bernama Bu Takae. Ia mempunyai keponakan berumur 15 tahun bernama Okame.
Okame adalah anak yang cantik dan riang. Semua orang suka padanya. Senyum Okame membuat hati siapa pun menjadi bahagia.
Satu hari di musim semi, para pelayan di rumah Pak Shirozaemon tampak sibuk. Ada yang bersih-bersih rumah. Ada yang menyiapkan baju-baju pesta. Ada juga yang sibuk di dapur menyiapkan kue beras yang dibungkus daun hijau. Mereka semua sibuk menyambut Festival Musim Semi untuk para gadis.
Okame yang paling gembira menyambut festival itu. Suara riangnya terdengar di seluruh rumah. Ia membantu merapikan rumah sambil sesekali menari riang.
Namun di sore hari, terjadi hal yang aneh. Tiba tiba ia menjadi pendiam dan kadang berdiri tanpa bergerak. Lalu, tanpa alasan, ia akan lari dan sembunyi sehingga nampan kue di tangannya terjatuh berantakan.
Orang pertama yang curiga akan tingkahnya itu adalah bibinya sendiri, Bu Takae. Ia bertanya pada Okame, namun Okame tidak menjawab, malah lari sembunyi di semak. Ia lalu mengacak-acak bunga di taman dan memakan daun-daunan.
Para pelayan di rumah itu mulai berbisik.
“Jangan-jangan, Okame bukan manusia, tapi Kitsune, si siluman rubah. Siluman rubah kan, pandai menyamar menjadi manusia,” bisik mereka.
Di Jepang, memang ada kepercayaan, bahwa siluman rubah bisa menyamar jadi manusia. Siluman rubah ini disebut Kitsune. Ada siluman yang baik, ada pula yang jahat.
Bu Yukiko, koki di rumah itu, tidak suka pada Bu Takae. Ia iri karena Bu Takae lebih dipercaya oleh Pak Shirozaemon. Ketika mendengar cerita tentang Okame, ia langsung menambahkan,
“Menurutku, Okame memang siluman rubah. Dia menyusup di antara kita dan nanti kita satu persatu akan disihirnya. Ayo, sekarang kita semua usir dia dari rumah ini!”
Bu Takae sangat marah mendengar perkataan Bu Yukiko. “Bagaimana mungkin dia siluman rubah? Aku mengenalnya sejak dia lahir. Aku yang merawatnya sejak dari desa kami. Okame mungkin sedang tidak enak badan.”
Akan tetapi, keadaan Okame makin lama makin buruk. Semua pelayan takut padanya. Takae mulai khawatir dan meminta majikannya untuk memanggil pengusir roh. Siapa tahu pengusir roh tahu apa yang terjadi.
Ketika pengusir roh datang, semua pelayan duduk mengelilingi Okame. Pengusir roh lalu duduk di depan Okame dan menatap Okame dengan tajam.
“Siapa kamu sebetulnya?” tanya pengusir roh.
Okame tertunduk dan tidak bergerak. Ia lalu bicara dengan suara yang berbeda samasekali.
“Namaku Rin, siluman rubah. Aku menyamar jadi gadis ini, karena aku sangat lapar. Di rumah ini ada banyak sekali makanan. Berikanlah aku beberapa roti yang wangi. Nanti akan kuberi tahu, dimana Okame aku sembunyikan. Setelah itu, aku akan pergi…”
Bu Yukiko yang selalu tidak suka pada Okame yang riang, langsung berseru.
“Tidak usah pura-pura, Okame! Kamu memang siluman rubah! Dan kamu ingin makan semua kue di rumah ini sebelum acara festival, kan? Jangan berikan apapun pada dia!” larang Bu Yukiko.
Akan tetapi, tak ada pelayan yang mendengarkan Bu Yukiko. Semua hanya memikirkan keselamatan Okame. Mereka buru-buru mengambil senampan kue dan meletakkan di depan gadis itu. Siluman rubah itu langsung meraup lima kue sekaligus dan memakannya dengan rakus. Sepertinya dia belum makan berhari-hari.
Setelah melahap setampah kue, gadis itu kembali terdiam.
“Apalagi yang kau inginkan, Rin? Kamu janji akan pergi setelah makan kue. Dimana kamu sembunyikan Okame?” ujar pengusir roh.
Rin yang berwujud Okame itu berbicara dengan suara aneh lagi,
“Kue-kue ini sangat enak dan cantik. Aku sangat suka. Tapi di keluargaku ada 5 anak, dan kami juga ingin merayakan Festival Musim Semi untuk para gadis. Nenekku juga tidak pernah mencicipi kue seenak ini. Tolong berikan beberapa kue untuk aku bawa pulang. Aku akan benar-benar pergi.”
“Kue-kue ini memang enak!” bentak Bu Yukiko. “Dan kamu tidak akan menemukan kue seenak ini di toko manapun. Itu sebabnya, siluman rubah seperti kamu tidak pantas memakan kue-kue ini! Teman-teman, cepat, usir siluman rubah ini dari sini!”
Akan tetapi, sekali lagi para pelayan tidak mau mendengarkan perintah Bu Yukiko. Mereka malah membawa semua wadah kue itu ke hadapan Rin. Bu Takae dengan cepat membungkus kue-kue itu dengan sehelai kain, lalu mengikatnya. Bu Takae meletakkan buntalan itu di pangkuan Rin.
Gadis itu menunduk dan bicara dengan suara aneh lagi,
“Aku berterimakasih, karena kalian baik sekali padaku, pada anak-anakku, dan pada nenekku. Sekarang, bawalah aku keluar. Kalian akan menemukan Okame di semak-semak di sudut taman.”
Pengusir roh mengangguk pada Bu Takae. Ia melangkah dan memapah gadis itu keluar rumah.
“Sekarang, pergilah, Rin! Lari dan jangan kembali lagi!”
Seketika gadis itu melompat dan mulai berlari. Di ujung jalan, wujudnya lalu berubah menjadi Kitsune si rubah.
Rubah itu berhenti sejenak dan menengok ke belakang, seperti mengucapkan terimakasih. Tampak ia menggigit buntalan kain dari Bu Takae tadi di rahangnya.
Para pelayan rumah melihat ke arah Kitsune itu dengan takjub. Tiba-tiba, terdengar suara riang yang sangat mereka kenal,
“Heiii… kalian sedang menonton apa? Aduh, aku sepertinya terjatuh di taman. Bajuku kotor…”
Bu Takae dan para pelayan menengok ke sudut taman. Tampak Okame sedang berlari datang ke arah mereka dengan bajunya yang belepotan tanah.
“Astaga, Okame! Ayo, cepat ganti bajumu!” seru Bu Takae dengan sangat lega.
Para pelayan menyambut Okame dengan gembira. Mereka tidak pernah menceritakan kejadian itu pada Okame. Bahkan Bu Yukiko pun tidak pernah menyinggung kejadian hari itu lagi.
(Dok. Majalah Bobo / Folklore)
Ilustrasi: Melani
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR