Braaak! Luna membuka pintu kamar adiknya lebar-lebar. “Ota, kamu lihat ...”
Luna tertegun. Adiknya menunduk di depan meja belajar. Matanya sampai hampir menempel permukaan meja.
“Ngapain, sih?” tanya Luna penasaran.
Sedetik kemudian, Luna terbahak-bahak. “Ya ampuuun, hari gini koleksi prangko? Di mana-mana orang email-email-an, sms-an, eh, kamu malah koleksi prangko,” ledeknya.
Ota cuek, tetap asyik menjepit prangko-prangko dengan pinset dan memasukkannya ke dalam album.
“Lihat dong, Kak, koleksi prangkoku. Kita bisa keliling dunia lewat prangko!” Ota menunjukkan album prangkonya pada Luna.
Diam-diam Luna kagum. Ada seri keajaiban dunia, rumah adat, cerita rakyat, dengan gambar bagus-bagus. Namun, gengsi dong, memuji Ota.
Bisa selangit ge-ernya!
“Setahuku sih, yang mengoleksi prangko cuma orang-orang zaman dulu,” komentar Luna sambil mencibir.
Tahu-tahu, suatu pagi Ota uring-uringan. “Menara Eiffelku hilang,” keluhnya. “Padahal itu kiriman Rembrant, sahabat penaku dari Prancis.”
“Hihi... sahabat pena?” Luna terkikik geli.
“Kok ketawa? Jangan-jangan Kakak yang mengambil,” tuduh Ota.
“Hey, jangan sembarangan, ya!” Luna mulai gusar.
***
“Kapan kamu terakhir melihat Eiffel?” tanya Taras waktu Geng LOTRIA berkumpul di rumah Ota.
“Minggu lalu, waktu Kak Luna meledekku,” jelas Ota. “Habis itu, kubawa ke sekolah buat ditunjukkan kepada Della dan Frans. Terus, aku taruh di meja belajar.”
“Hmm... jadi tersangkanya Della, Frans, dan.. mmm...,” Taras terdiam.
Luna langsung melotot. “Kamu menuduhku?”
Taras terlihat menimbang-nimbang sesuatu, lalu mencari persetujuan Ota dan Kiria.
“Menurutku, Kak Luna layak jadi tersangka. Dia meledek aku terus.”
Kiria ikut mengangguk-angguk. Tentu saja Luna berang. Namun, sebelum Luna sempat membuka mulut, Taras menengahi.
“Luna memang layak jadi tersangka.” Taras cepat-cepat melanjutkan kalimatnya karena melihat mulut Luna sudah siap melontarkan protes, “Tapi, dia punya alibi kuat.”
Anak-anak memandang Taras. “Yang melaporkan kasus ini Luna. Kalau dia yang meng-ambil Eiffel, sama saja bunuh diri, dong!”
Anak-anak mengangguk.
“Lagipula, kalau aku mengambil Eiffel, aku juga bakal rugi karena dikeluarkan dari Geng LOTRIA,” cetus Luna.
“Oke. Tinggal menyelidiki Della dan Frans,” kata Taras.
***
Della tampak takut-takut waktu Geng LOTRIA mendekatinya. “Kami cuma pengen ngobrol,” kata Luna sambil menyodorkan kue bekalnya. “Mau?” Della menggeleng. “Makasih,” jawabnya pendek.
“O iya, kamu ingat album prangko Ota?” tanya Luna. Wajah Della terlihat sedikit memucat.
“Kenapa? Hilang?” tanyanya buru-buru, nampak takut.
Ota tersenyum. “Enggak kok, Del, tenang!” hibur Ota. “Waktu kamu lihat-lihat album itu, ada prangko Eiffel enggak?”
Della mengangguk mantap. “Ada. Waktu itu aku sempat bilang kalau aku punya prangko yang sama persis.”
Ota menepuk dahinya. “Aku lupa!” Della pun bebas dari tuduhan. Kalau sudah punya prangko Eiffel, untuk apa dia mencurinya?
Frans jauh lebih berani daripada Della. Anak ini sama bandelnya dengan Ota. Cocok deh, kalau mereka berteman dekat.
“Memangnya kenapa kalau hilang?” tanya Frans dengan wajah nyebelin.
“Grrrhhh, kamu sendiri kan kolektor prangko, pasti tahu rasanya kehilangan prangko yang disayangi,” kata Ota gregetan. Frans mengangguk-angguk dengan gaya polos.
“Tapi, bukan aku yang mengambilnya,” jelasnya.
“Terus, siapa?” tanya Luna asal-asalan.
Frans mengangkat bahu. “Waaa, enggak tahu. Prangkonya yang mana saja, aku enggak tahu. Kemarin Ota memang sempat menyebut-nyebut Eiffel, tapi aku enggak melihatnya.”
“Maksudmu, sudah enggak ada?” tanya Ota dengan mata terbelalak.
“Bukan begitu. Aku udah enggak mengoleksi prangko lagi, jadi... mmm... sebenarnya aku tidak tertarik dengan prangko-prangko Ota. Kemarin aku cuma melihat sepintas, biar Ota lega,” jelas Frans.
Ota manyun mendengarnya. Penjelasan itu membebaskan Frans dari tuduhan. Kalau sudah tidak mengoleksi prangko, tentu dia enggak punya alasan mencuri Eiffel.
***
Geng LOTRIA duduk membisu di markas rumah pohon mereka. “Tinggal satu tersangka,” gumam Ota. Luna melirik Ota dengan tatapan sebal.
“Hei, gimana dengan keluargamu?” tanya Kiria tiba-tiba.
“Aku sudah tanya Papa dan Mama. Mereka enggak tahu apa-apa. Mereka juga enggak punya alasan mengambil Eiffel,” jelas Ota.
“Bi Runi!” seru Luna.
“Kenapa aku enggak berpikir sampai Bi Runi, ya? Tapi, Bi Runi enggak berani menyentuh barang-barangku. Dia jujur dan selalu bertanya sebelum membuang barang di ka-marku. Bahkan, kemarin mau buang tissu bekas aja, minta izin aku,” papar Ota sambil nyengir.
“Ih, jorok!” komentar Luna.
Bi Runi sedang duduk santai di kebun ketika Geng LOTRIA mendekat.
“Waduh, jangan-jangan Bibi tersangkut kasus misterius. Bibi jadi tersangka ya, Non?” tanya Bi Runi dengan wajah khawatir.
Hihi... anak-anak tertawa. Bi Runi memang tahu kalau Geng LOTRIA senang memecahkan misteri. Makanya, dia begitu khawatir ketika Geng LOTRIA beramai-ramai mendekatinya.
“Enggak kok, Bi, kita cuma mau nanya. Bibi lihat enggak album prangko Ota yang ada di meja belajar?” tanya Ota.
“Album yang berisi banyak prangko? Iya, Bibi lihat. Mas Ota asyik ya, punya prangko banyak, bisa mengirim surat berpuluh-puluh kali. Bibi kalau mau beli prangko harus ke kantor pos, Mas,” cerita Bi Runi lugu.
“Iya, Bi. Tapi, prangko Ota ada yang hilang. Bibi lihat?” tanya Ota.
“Ya ampun, Mas Ota. Kan bisa beli lagi di kantor pos. Lagipula, kalau cuma hilang satu, yang lain masih banyak, kan?” tanya Bi Runi.
“Tapi, bukan Bibi yang mengambil prangkoku, kan?” selidik Ota.
Raut muka Bi Runi sedikit berubah. Dia cepat-cepat mengeluarkan dompet. “Ini, Bibi punya prangko banyak, buat apa ambil punya Mas Ota?”
Hhhh... jalan buntu, deh! Geng LOTRIA enggak punya gambaran lagi siapa yang mencuri Eiffel Ota. Hari-hari berlalu dengan kelesuan.
Hingga suatu hari, terjadi keributan di rumah Ota.
“Hebat, Mas Ota, Bibi enggak menyangka! Ternyata Bibi punya hoki gede!” seru Bi Runi berkali-kali.
Rupanya Bi Runi menang kuis di majalah. Dia bangga sekali namanya ada di majalah. Ota menunjukkan majalah yang memuat nama Bi Runi sambil berbisik pada Luna. Luna mengangguk-angguk.
“Bi Runi mengirim pakai kartu pos, ya?” tanya Luna.
“Iya, Non. Tadinya hampir enggak jadi, soalnya Bibi enggak sempat ke kantor pos beli prangko. Untung akhirnya Bibi sempat mengirimnya, jadi menang, deh! Besok Bibi traktir mie ayam, ya?”
“Hmm, kalau enggak sempat ke kantor pos, dapat prangko dari mana?” tanya Luna tajam.
Bi Luni kelihatan salah tingkah. “Ng... iya deh, Bibi ngaku. Bibi mengambil prangko Mas Ota. Tapi, tenang aja, Mas. Besok Bibi ganti sepuluh, gimana?”
Ota terdiam kesal. Sebenarnya dia mau marah. Namun, Bi Runi benar-benar enggak ngerti kalau prangko itu untuk dikoleksi, bukan untuk dipakai.
“Kita datangi kantor majalahnya! Semoga Eiffel bisa terselamatkan!” teriak Luna.
Hari berikutnya, Ota sudah sibuk lagi mengatur prangko-prangkonya. Dia memandang puas pada prangko bergambar menara Eiffel di tangannya. “Suatu saat nanti, aku akan melihat Eiffel yang sesungguhnya,” gumam Ota.
“Mimpi kali yeee!” ledek Luna yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Selanjutnya, bisa ditebak. Boneka Batman yang ada di meja Ota pun melayang mengejar Luna.
Oleh Veronica Widyastuti
Dok. Majalah Bobo
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR