“Afan, kenapa pertanyaan nomor sepuluh ini tidak kamu kerjakan?” tanya Pak Guru.
“O iya, Pak, aku tidak terlalu memperhatikan tadi,” jawab Afan.
“Afan, belanjaan, Ibu, kok, kurang satu?” tanya Ibu sambil mengacungkan kertas daftar belanjaan. Seperti biasa, Afan tidak teliti membaca daftar belanjaan ibunya. Hasilnya? Belanjaannya sering tidak lengkap.
Afan sebetulnya cerdas. Namun, karena sering tidak teliti, hasil pekerjaannya jadi tidak sempurna. Sudah banyak yang memintanya berubah, tetapi sulit sekali.
Saat ini, Afan dan teman-temannya sedang berwisata ke Borobudur. Lagi-lagi Afan tidak teliti membaca lembar keterangan. Ia tidak membawa topi, padahal berjalan mengelilingi Borobudur akan panas sekali. Ia juga tidak berkeliling searah jarum jam, malah berjalan ke arah sebaliknya. Akibatnya, dia jadi terpisah sendirian.
Afan berjalan mencari teman-temannya dan sampai ke suatu relief yang menarik perhatiannya. Relief bergambar kapal. Afan memandangi relief itu lekat-lekat, Tiba-tiba, samudra di relief itu terasa nyata. Ia seperti bisa mendengar debur ombak! Bukan hanya itu, rasanya dia bisa mendengar orang-orang di kapal itu saling berseru.
Afan memandang ke sekelilingnya dan terkejut! Bukan bangunan candi lagi yang dilihatnya. Melainkan suatu bengkel kerja sederhana bersama dengan banyak pemuda. Pemandangannya terlihat aneh. Sangat tradisional. Orang-orang di situ pun mengenakan pakaian tradisional zaman dulu. Mereka tampak sedang mengerjakan sesuatu. Afan merasa mengenali benda itu. Diperhatikannya benda itu. Benar! Itu kapal yang ada di relief Borobudur!
“Permisi. Mohon diperiksa lagi rancangan kapal ini, Kanjeng,” ucap salah satu pemuda. Afan memandanginya dan baru sadar, gaya pakaiannya sama dengan mereka. Hanya saja bajunya lebih resmi dan bagus. Para pemuda itu memandanginya dengan penuh hormat.
Afan membuka mulut untuk bilang ia tidak tahu apa-apa soal kapal. Tetapi, saat ia melihat kapal itu, tiba-tiba Afan sadar akan sesuatu. Ia mengerti soal kapal itu! Ia tahu bahwa layarnya tampak agak terlalu panjang. Afan berkeliling dan benar-benar menemukan sejumlah kesalahan dalam pembuatan kapal itu. Menurut para pemuda itu, kapal tersebut akan digunakan untuk berdagang mengarungi samudra dari pulau Jawa sampai benua Afrika. Waow! Afan terkejut sekali mendengarnya.
Malam ini adalah malam terakhir sebelum kapal itu diluncurkan besok. Akan ada perjamuan besar di keraton. Tentunya Afan diundang. Afan diminta sekali lagi memeriksa kapal itu. Sayang, Afan terburu-buru ingin pergi ke perjamuan itu. Ia tidak melihat ada salah satu pasak layar yang kurang kuat.
Maka, keesokan harinya, kapal kayu tradisional itu bertolaklah dengan Afan sebagai kaptennya. Awalnya, semua berjalan lancar. Tetapi badai menghantam mereka di Samudra Hindia. Pasak yang kurang kuat itu mulai berbunyi,
“Krek… krek… krek…” Salah seorang pendayung perahu melihat pasak itu dan berseru ketakutan, “Pasak layar hampir lepas!”
Sontak semua menoleh ke arah pasak itu. Di tengah ombak-ombak tinggi, tiang layar terayun-ayun keras akibat pasak yang kurang kuat itu.
Afan terkejut sekaligus takut melihatnya. Ia teringat pada malam terakhir itu. Ia terburu- buru memeriksa bagian layar karena sudah dipanggil ke pesta di keraton. Bam! Tiang layar itu patah dan mulai doyong akan roboh menimpa dirinya. Afan memejamkan matanya erat-erat. Ini buruk sekali! Semua gara-gara ketidaktelitiannya!
Afan tersentak. Ia terbangun di Borobudur. Karena tidak memakai topi, Afan sempat pingsan kepanasan. Tepat di depan relief kapal Borobudur itu. Teman-teman dan guru yang mengelilinginya menarik nafas lega melihat Afan sadar kembali. Afan juga lega karena semua itu hanya mimpi. Tapi ia berjanji akan bekerja seteliti mungkin agar tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR