“Tapi, Alia dapat, tuh. Beli!” sahut Amanda. Mita terdiam. Amanda menoleh. Alisnya terangkat curiga, lalu berkata, “Kamu mengira aku atau Aulia mengambil pitamu?”
“Aku engga bilang begitu! Makanya, tadi kuselidiki dulu ke toko-toko…”
“Sekarang kamu menyelidiki aku? Pikirmu, kami mencuri, ya?” potong Amanda gusar. Ia menarik boneka dari pelukan Mita.
“Kamu, kok, jadi marah gitu?” Mita bangkit dari lantai.
“Siapa yang engga marah? Kalau cuma pita, aku mampu beli!”
Kedua anak itu bertatapan sengit. Mita mulai marah juga.
“Orang mencuri bukan karena tak mampu saja. Bisa juga karena sesuatu yang ia mau, tak ada di mana-mana!”
Mata Amanda terbelalak mendengar ucapan itu. Mita terdiam, lalu bergegas pergi sebelum Amanda semakin marah.
“Huh, Manda, kok, marah, sih? Curiga, kan, boleh!” gerutu Mita setiba di rumah. Rasa marahnya belum hilang. “Huh, aku curhat sama Mila saja!”
Mita lalu menelpon Mila, sepupunya yang tinggal di kota lain. Dengan cepat, Mita bercerita kepada sepupunya itu. Mila bertanya di seberang telepon, “Maksudmu, tadinya kamu punya sehelai pita panjang? Sekarang, setengahnya hilang?”
“Iya! Kamu ingat, engga? Tante Tania pernah kasih aku pita yang panjang banget!” seru Mita.
“Ya, iyalah, aku ingat. Pita itu kamu potong jadi dua. Terus, kamu kasih ke aku…”
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR