Bobo.id - Siapa yang sering kesal saat alarm berbunyi?
Meski bunyinya nyaring, ia membantu kita bangun tepat waktu, lo.
Di antara teman-teman, mungkin ada yang sering memakai fitur alarm di handphone.
Mungkin ada juga yang memakai jam alarm di samping tempat tidur.
Namun, sebelum alarm ini ditemukan, apa ada alat yang membantu orang-orang bangun tidur, ya?
Baca Juga : Tubuh Kita Punya Jam Kerja, Inilah Waktu Terbaik untuk Beraktivitas
Perkembangan alat penunjuk waktu
Sejak peradaban kuno, orang-orang sudah mengembangkan teknologi penunjuk waktu.
Baca Juga : Kenapa Satu Jam Terdiri dari 60 Menit? Ternyata Ini Jawabannya
Misalnya ada Bangsa Yunani dan Bangsa Mesir kuno yang membuat jam bayangan Matahari.
Mereka membangun sebuah tiang yang menandai bayangan yang bergerak dengan Matahari.
Kemudian semakin modern, ada jam pasir, jam air, dan lampu minyak.
Penunjuk waktu ini mengandalkan pergerakan pasir, air dan minyak.
Nah, penemuan jam juga mengarah pada penemuan jam alarm, misalnya ada jam lilin.
Alat ini diciptakan oleh Bangsa Tiongkok kuno. Alat ini tertanam dengan paku yang terlepas saat lilin meleleh.
Paku ini kemudian bergemerincing pada nampan di waktu yang ditentukan atau diperkirakan sebelumnya.
Namun alat ini tidak bisa ditebak dan kurang bisa diandalkan.
Di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, ada jam lentera yang memiliki pemberat yang akan membunyikan lonceng, kita mengenalnya sebagai jam antik.
Kemudian, di abad ke-18, keluarga yang kaya di Inggris mempekerjakan knocker upper.
Baca Juga : Apa Jadinya Kalau Teknologi Modern Diubah Jadi Benda di Tahun 80-an?
Knocker upper adalah orang yang membawa tongkat panjang untuk mengetuk jendela lantai atas rumah orang-orang, sampai mereka bangun.
Kemudian di tahun 1930-an, jam alarm mulai ditemukan dan koncker upper sudah tidak dipekerjakan lagi.
Jam alarm yang canggih
Pada akhirnya, jam dalam tubuh kita memang yang paling canggih membangunkan kita.
Manusia punya dua proses biologis yang mendasari pola tidur dan bangun alami, yaitu hemeostasis dan ritme sirkadian.
Hemeostasis ini bekerja dengan proses yang diatur oleh bagian hipotalamus di otak.
Baca Juga : Meskipun Kecil, Jam Sangat Berguna! Bagaimanakah Sejarahnya?
Prinsipnya adalah semakin lama kita bangun, semakin tinggi dorongan dari tubuh untuk tidur, atau kemungkinan ketiduran.
Saat tidur, dorongan ingin tidur ini hilang, memberi tanda saat kita harus bangun.
Kemudian, ritme sirkadian juga dikendalikan oleh sel-sel di hipotalamus.
Ritme sirkadian juga dipengaruhi oleh cahaya dan gelap yang menentukan periode terjaga dan mengantuk di tubuh kita.
Menurut peneliti Melinda Jackson dari Universitas Australia, saat belum ada alarm, kemungkinan orang-orang bangun tidur dengan dua proses ini.
Baca Juga : Malam Ini, Matikan Lampu Selama 1 Jam dan Lihat 4 Keindahan Langit Ini
Yaitu jumlah waktu tidur yang dilalui, ditambah cahaya matahari di pagi hari.
Kebiasaan sehari-hari
Peneliti Sasha Handley dari Universitas Manchester melakukan penelitian terhadap sejarah kebiasaan tidur di Inggris Raya.
Berdasar temuannya, orang-orang pada era Kristen terbiasa menghadapkan dipannya ke arah timur, yaitu arah matahari terbit.
Sebenarnya ini merupakan alasan keagamaan, yaitu arah timur dipercaya sebagai kedatangan Yesus saat kebangkitan.
Baca Juga : Mirip Komik, Lukisan Zaman Romawi Kuno Ini Dilengkapi Balon Kata
Namun, kemungkinan, arah dipan ini juga membantu orang-orang bangun, karena sinar matahari yang masuk.
Selain itu, suara ayam dan sapi juga bisa membangunkan orang-orang di masa lalu.
Lonceng yang ada di gereja juga dimanfaatkan untuk alarm di masa itu.
Kemudian orang-orang di masa lalu juga selalu bangun pagi karena percaya kalau waktu pagi adalah waktu untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara berdoa.
Nah, kalau menurut peneliti, ada cara yang bisa kita lakukan kalau ingin bangun pagi, selain memanfaatkan jam alarm.
Yaitu dengan membiasakan diri untuk tidur cukup sesuai waktunya.
Baca Juga : Ingin Cerdas? Yuk, Tidur yang Cukup! Ini Hubungan Tidur dengan Kecerdasan
Yuk, lihat video ini juga!
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Avisena Ashari |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR