“Jatiii… Jatiii… kau di mana…”
Itu suara Putri Kenanga. Pangeran Jati kembali terkejut, karena melihat kembarannya pun berada di tempat itu tanpa terkena sihir. Putri Kenanga membawa sebatang ranting seperti yang dipegang Ki Sakti.
“Aku di sini, Kenanga… Aku di sini!” teriak Pangeran Jati. Namun suaranya tidak keluar. Ia baru ingat kalau ia sudah menjadi seekor angsa sekarang.
“Ah, kau di sini, rupanya!” seru Putri Kenanga ketika melihat Pangeran Jati yang berupa angsa. Ia segera menyentuhkan tongkat rantingnya ke tubuh angsa itu. TRING… Seketika angsa itu berubah menjadi Pangeran Jati lagi.
“Wah, kau hebat, Kenanga! Kau tahu darimana kalau angsa tadi itu aku?” tanya Pangeran Jati.
“Karena cuma ada satu angsa yang di kepalanya ada permata merah!” kata Putri Kenanga. Ia menarik tangan kembarannya, “Ayo, kita ajak semua angsa menjauh dari sini! Jangan sampai kena serangan nyasar Ni Hejo!”
“Tapi, kita harus menolong Ki Sepuh!” ujar Pangeran Jati.
“Tenang saja, Ki Sepuh pasti menang. Ki Sepuh sudah lama menyelidiki kelemahan Ni Hejo. Kekuatan Ni Hejo bisa tersedot oleh kayu atau ranting pohon jati. Itu sebabnya, dia tidak bisa melewati batas kerajaan kita yang terlindung hutan jati. Warga desa yang ditangkapnya, adalah warga yang melewati batas hutan jati,” jelas Putri Kenanga panjang lebar.
Putri Kenanga memang betul. Ketika ranting pohon jati Ki Sepuh memukul Ni Hejo, penyihir itu seketika menjadi asap. Ia tersedot masuk ke dalam ranting jati itu.
Semua angsa di tempat itu seketika berubah menjadi warga desa seperti semula. Mereka berterimakasih pada Putri Kenanga dan Ki Sepuh. Mereka semua lalu kembali ke rumah masing-masing.
Setiba di istana, Pangeran Jati meminta maaf pada Putri Kenanga dan Ki Sepuh. “Hari ini, aku baru sadar, kalau Kenanga lebih bijak daripada aku. Dialah yang pantas menggantikan almarhum Ayah, untuk menjadi ratu di negeri ini. Dan tentu saja, untuk menasihati aku agar tidak ceroboh,” ujar Pangeran Jati.
Baca Juga: Dongeng Anak: Drogo, Raksasa Serakah #MendongenguntukCerdas