Dengarkan Suara Hati Kecilmu

By Sylvana Toemon, Jumat, 11 Mei 2018 | 02:00 WIB
Dengarkan Suara Hati Kecilmu (Sylvana Toemon)

Suasana di kamar rumah sakit di mana oma si Rut dirawat penuh canda ria. Emi, Lusi, Mirna, dan Rut sendiri mengelilingi tempat tidur di mana Oma terbaring dengan wajah ceria. Betapa tidak. Kawan-kawan cucunya demikian mengasihinya, sehingga mereka mau meluangkan waktu untuk mengunjungi Oma di rumah sakit.

"Melihat wajah-wajah kalian, Oma jadi ingin lekas pulang ke rumah. Tapi, kata dokter mungkin minggu depan baru Oma boleh pulang!" kata Oma.

"Ya, lekaslah sembuh, Oma!" kata Emi.

"Ya, dan lekaslah buatkan kami bubur menado atau soto mi!" tambah Mirna. Semua tertawa.

Kalau mereka main ke rumah Rut, oma Rut suka membuatkan penganan lezat bagi anak-anak itu. Rut tinggal dengan omanya dan adik ibunya, Tante Wanda. Ayah dan Ibu Rut bekerja di luar kota dan hanya sekali-sekali pulang ke rumah.

"Oma belum sembuh, sudah minta dibuatkan makanan. Terlalu kamu ini, Mirna!" cela Lusi.

 "Oooh, jangan khawatir. Oma akan segera sembuh. Apalagi bila sudah mendengar puisi yang akan kubacakan!" kata Mima dengan nada meyakinkan.

"Ayolah, lekas bacakan puisi istimewa itu. Oma ingin dengar!" kata Oma dengan semangat.

Maka Mirna berdeklamasi:

Oma yang kami sayangi

Ketika kami ke rumah Oma

Tak kami jumpai Oma

 Tak kami dengar suara merdu Oma

 Tak kami lihat senyum ramah Oma

Karena Oma berada di rumah sakit

Oma yang kami sayangi

Kami doakan agar Oma lekas sembuh

Sehat kembali seperti dulu

Pesan kami, Oma, jangan malas minum obat dan jangan bergaul erat dengan para perawat

Nanti Oma tak mau pulang ke rumah

Dan kami semua akan kecewa.

Oma dan anak-anak perempuan itu bertepuk tangan dan tertawa gembira.

"Bagus benar puisimu itu. Hasil karyamu sendiri?" tanya Oma.

Mima hanya tertawa. Tiba-tiba suara hati kecilnya berbisik, "Puisi itu bukan hasil karyamu. Mengapa tidak berterus terang? Katakan kamu hanya mendeklamasikan, itu hasil karya Rani!"

Tapi, Mirna mengabaikan bisikan hati kecilnya. Dan Rut berkata, "Oma, dia kan calon penyair nasional. Waktu ulang tahun Emi dia juga membaca puisi. Waktu perayaan 17 Agustus di RT Mirna juga mendapat sambutan meriah!"

"Syukurlah, syukurlah, Oma turut senang dan bangga!" kata Oma.

Ketika jam berkunjung di rumah sakit habis, anak-anak itu pulang. Di simpang jalan mereka berpisah. Mirna tidak langsung pulang ke rumah, tetapi dia singgah di rumah

Rani, teman sekelasnya yang amat pendiam. Hanya Mirna yang tahu bahwa Rani pandai membuat puisi. Pernah notes Rani jatuh dan Mirna memungutnya. Isinya adalah puisi-puisi karya Rani. Sejak itu Mirna yang gemar berdeklamasi memanfaatkan Rani untuk membuat puisi-puisi yang akan dibacakannya.

"Rani, aku baru saja menengok Oma si Rut di rumah sakit. Dia senang, Io, waktu kubacakan  puisimu!" lapor Mirna.

"Oh, syukurlah. Ada juga, ya, manfaat puisi untuk orang sakit!" kata Rani dengan mata berbinar.

Oh, betapa inginnya dia mendengar puisinya dibacakan dan melihat sendiri bagaimana wajah Oma si Rut pada waktu puisinya dibacakan. Tetapi, ia terlalu pendiam. Bahkan ia segan mengatakan pada kawan-kawannya bahwa ia ingin ikut ke rumah sakit. la takut kalau-kalau ia ditolak. Lagi pula mereka juga tidak mengajaknya.

Hari demi hari berlalu. Oma si Rut sudah sembuh dan pulang ke rumah. Suatu hari ada berita bahwa Dina, kawan sekelas mereka akan mengadakan pesta perpisahan. la akan pindah sekolah ke Singapura. Pesta akan diadakan hari Sabtu sore di rumah Dina, di daerah Tebet. Mirna pun segera menghubungi Rani.

"Buatkan puisi, ya, Rani, untuk pesta perpisahan Dina. Isinya terserah kamu, pokoknya hari Kamis selesai. Kan, aku mesti siap-siap menghafalkannya!" kata Mirna.

"Kamu ikut saja ke pesta itu. Kamu bisa menumpang mobil Cici atau mobil Susan. Aku juga akan ikut dengan salah satu dari mereka!" saran Mirna, meskipun ia yakin benar Rani takkan berani minta pada Cici dan Susan untuk menumpang.

"Entahlah, aku belum memikirkannya. Rumah Dina, kan, jauh!" kata Rani.

Kemudian Mirna pulang. Lagi-lagi suara hati kecil Mirna berbisik, "Kali ini kau perlu berterus-terang bahwa puisi itu karya Rani, kamu hanya membacakannya!"

Sementara itu sesudah Mirna pulang, Rani memandang undangan dari Dina. Oh, betapa ingin ia bisa hadir ke pesta itu dan mendengar puisinya dibacakan.

Ketika Rani mengamati undangan dari Dina, ia tersentak. Alamat rumah Dina di Tebet Timur V, bukankah itu juga alamat rumah Eli, saudara sepupunya? Mungkin Eli juga diundang, pikir Rani. Maka Rani segera menelepon Eli. la juga memberitahu bahwa Mirna akan membacakan puisi hasil karyanya pada pesta itu.

"Kamu harus datang, Rani Pestanya akan ramai sekali. Kami, para tetangga juga diundang!" saran Eli.

"Eli, aku tak tahu mau pergi dengan siapa. Aku segan untuk menumpang mobil kawan. Kalau ditolak, aku malu. Lagi pula pasti banyak kawan-kawan yang mau pergi. Belum tentu mobilnya muat menampung kami semua!" keluh Rani.

"Jangan khawatir. Aku akan minta Ibu menjemputmu. Seusai pesta kamu menginap ke rumah kami. Beres, kan!" Eli mengambil keputusan.

"Terima kasih kalau begitu!" kata Rani dengan gembira.

Hari Kamis, Mirna datang ke rumah Rani untuk mengambil puisi yang dijanjikan. la tak menanyakan apakah Rani jadi pergi ke pesta atau tidak. Rani juga tidak memberitahu. Soalnya ia sendiri tidak merasa pasti bahwa ia akan dijemput. Siapa tahu ibu si Eli berhalangan.

Pada hari Sabtu sore rumah Dina dipenuhi oleh tamu. Di ruangan yang cukup luas, diatur bangku-bangku berbentuk L, masing-masing tersusun empat baris. Rani duduk di bangku paling belakang di pojok, sama sekali tak kelihatan oleh kawan-kawan sekelasnya. Ia duduk bersama rombongan anak-anak tetangga Dina, yaitu Eli dan kawan-kawannya. Di depannya duduk seorang anak gemuk berambut panjang. Tak seorang pun memperhatikan Rani.

Acara demi acara berlangsung dengan meriah. Mereka menyanyi bersama, Menonton tarian yang dimainkan oleh anak-anak tetangga Dina, mendengar paduan suara dari kawan-kawan segereja Dina dan menyaksikan pertunjukan sulap.

Lalu pembawa acara mengumumkan:..."Kini tibalah acara pembacaan puisi oleh Mirna Suleiman...!"

Mirna maju dengan pakaian pestanya yang anggun. Semua hadirin diam. Puisinya bagus, tentang perpisahan. Diharapkan agar Dina semakin rajin menuntut ilmu di negeri orang dan jangan melupakan kawan-kawan lama. Mirna membawakannya dengan penuh perasaan. Hanya Rani heran, mengapa namanya tidak disebut?

 

Selesai pembacaan puisi, terdengar tepuk tangan yang meriah dan panjang. Rani juga senang. Mirna kembali ke bangkunya. Beberapa anak mengacungkan jempol pada Mirna. Mirna tersenyum bangga. Tiba-tiba saja, Eli berdiri. Tepuk tangan sudah reda dan ruangan kembali hening. la maju ke depan, berbicara sebentar pada pembawa acara dan mengambil mikrofon. Hadirin diam, semua memperhatikan Eli.

"Maaf, kawan-kawan. Puisi yang baru dibacakan tadi adalah karya Rani.”

Lalu pembawa acara mengumumkan bahwa kini tiba acara makan. Hadirin dipersilakan menuju meja makan yang terletak di sudut ruangan. Sementara anak-anak menuju meja makan, Mirna berjalan mendekati Rani.

"Rani, maaf, ya, aku lupa memberi tahu penulisnya adalah Rani Subekti. Saya hanya ingin mengoreksi sedikit. Mungkin tadi lupa diberitahukan. Penulisnya ada di tengah-tengah kita!" demikian kata Eli dengan lantang.

Kini semua mata tertuju pada Mirna. Beberapa anak berbisik-bisik. Mirna menunduk malu.

Pembawa acara cepat berseru, "Terima kasih atas koreksinya. Silakan Rani Subekti berdiri. Mari kita tepuk tangan sekali lagi untuk Rani Subekti!"

Hadirin bertepuk tangan. Rani tersipu-sipu. la mencubit Eli yang sudah kembali ke sebelahnya.

“Itu hasil karyamu!" kata Mirna.

"Tidak apa, Mirna. Puisi itu sama sekali tak berarti kalau tidak dibacakan. Kamu yang hebat mendeklamasikannya!" kata Rani.

"Sudahlah, yuk, kita ambil makanan. Yang penting lain kali jangan lupa. Kalau lupa, kasihan penulisnya!" kata Eli.

Ketiga anak itu bangkit mengambil makanan. Ada satu hal yang dicamkan Mirna.Kalau suara hati menegur, mengingatkan kita bahwa kita salah, kita tidak boleh mengabaikannya.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna