Bukan Tiga Seribu

By Sylvana Toemon, Minggu, 1 April 2018 | 10:00 WIB
Bukan Tiga Seribu (Sylvana Toemon)

Mama mengajak Saras dan Kenan berdiskusi. Dengan berat hati, Mama menerangkan mereka tak bisa lagi berlangganan Bobo. Harga Bobo sudah naik menjadi tiga ribu rupiah. Harga barang-barang lain tak kalah melonjak tinggi. Karena itu Mama mendahulukan kebutuhan sehari-hari.

“Mama berjanji belikan Bobo bila ada sisa uang bulanan. Atau kalau Mama dapat bonus di kantor.”

Saras dan Kenan mengangguk mengerti. Mereka menyadari hari-hari berjalan tak seperti biasa. Mama makin sering menghitung uang di dompet. Dan selalu mengernyitkan alis bila belanja ke swalayan. Tetapi Saras tidak kekurangan akal. Bersama Kenan, ia menemui Lulu di sebelah rumah.

“Mulai bulan depan kami tak berlangganan Bobo lagi. Boleh aku pinjam Bobomu?” pintanya.

“Sama dong,” kata Lulu. “Sekarang kami berlangganan satu koran saja.”

“Wah, pikiran mama-mama kita sama!” Saras menggerutu.

“Aku tak bisa mengikuti lanjutan cerbung di Bobo.”

“Aku dapat akal,” mata Lulu berbinar.

“Kita patungan saja membeli Bobo. Tiap minggu kita bertiga harus bisa menyisihkan uang saku. Masingmasing seribu rupiah. Mau nggak?”

“Aah, pasti berat buat Kak Saras!”

“Kenapa berat?” Saras tak mengerti.

“Kakak, kan, suka jajan. Uang saku Kakak jarang sisa,” jawab Kenan

“Ooo...” Saras batuk-batuk. “Lihat saja nanti! Kan masih bulan depan.”

“Bagaimana, sih, kamu! Ini sudah akhir bulan! Beberapa hari lagi sudah ganti bulan!” tukas Lulu “Jangan-jangan uangku yang dipinjam,” kata Kenan.

“Jangan sombong, Kakak bisa menabung!” tukas Saras. Kenan menunjuk perut Saras yang gembul sambil berujar, “Menabung di perut! Hehehe...”

“Awas kau!” Saras melotot kesal. Dalam hati, ia bertekad untuk berhenti jajan. Tidak mudah menyatukan kata dengan perbuatan. Begitulah yang dirasakan Saras saat pertama kali mencoba tidak jajan di sekolah. Lemper, pie susu, rujak manis, es dawet... semua makanan yang biasa dibelinya terbayang-bayang di pelupuk mata.

Otak Saras berpikir keras mencari jalan keluar. Ririn, Voni, dan Damar adalah teman-teman yang juga berlangganan Bobo. Masalahnya, rumah mereka terlalu jauh. Saras segera menemui Ririn, lalu mengutarakan maksudnya.

“Kamu main ke rumahku saja. Aku tak mau bawa majalah ke sekolah. Bisa-bisa robek direbut semua anak. Lagipula kalau ada yang bandel baca di kelas, nanti aku yang kena tegur,” kata Ririn.

Sama aja bo’ong, sungut Saras dalam hati. Perlu dua kali ganti bemo untuk ke rumah Ririn. Itu berarti tetap saja ia mesti menyisihkan uang sakunya. Saras meneguk ludah.

“Aku lapar, Lu!” Saras menghampiri Lulu yang duduk di keteduhan pohon akasia. Serta-merta Lulu menyodorkan kotak kue yang dibawanya dari rumah.

“Aku ingin lemper dan es dawet.”

“Tahan deh, Ras!” hibur Lulu.

“Kalau hari pertama gagal, hari-hari berikutnya tambah susah.”

“Memangnya aku tak boleh belanja sama sekali! Aku beli segelas es dawet saja, deh!” Lulu melirik perut Saras. Otomatis Saras mengempiskan perutnya dan menutupi dengan kedua tangan.

Lulu menggoda, “Perutmu nanti minta tambah!”

Kedua pipi Saras memerah.

“Kalau aku sih nggak apa-apa jajan. Aku punya tabungan.”

Saras tak punya tabungan. Bagaimana kalau ia pinjam tabungan Kenan? Ah, belum apa-apa anak itu kemarin sudah mewanti-wanti! Tak ada pilihan, Saras mengambil biskuit dalam kotak Lulu.

“Aku haus,” katanya tak beberapa lama. Lulu menyodorkan tempat minumnya dan berujar, “Mulai besok kamu bawa bekal sendiri!”

“Pelit.”

“Bukan begitu. Kita bisa tukar-tukaran bekal biar tak bosan.”

Akhirnya hari itu berlalu tak terasa. Seperti ucapan Lulu, hari-hari selanjutnya berjalan lebih mudah bagi Saras. Ternyata ia bisa mengumpulkan uang lebih dari yang ditargetkan. Saras menyisihkan seribu rupiah. Sisanya ia masukkan ke dalam celengan yang selama ini kosong. Hari kamis tiba. Saras, Kenan, dan Lulu pergi ke kios majalah. Setelah mengambil Bobo, Lulu menuangkan semua uang logam di dompet ke atas meja.

“Wah, wah, uang tabungan ya!” tebak bapak pemilik kios.

“Sayang, harga Bobo bukan tiga seribu, tapi satu tiga ribu. Cukup berat buat kalian, ya?” Saras mengangguk paling kuat. “Kami patungan bertiga,” jelas Lulu.

“Siapa membaca pertama?” tanya bapak itu.

Ketiga anak berpandangan. Masalah itu belum mereka diskusikan. Yang jelas majalah bisa robek bila mereka berebut. Lebih susah lagi bila tak ada yang mau mengalah. Mereka bisa bermusuhan.

“Bergiliran setelah membaca satu cerita,” kata Saras, yang diiyakan Lulu dan Kenan. Anak-anak itu segera bergegas pergi dengan hati riang.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.