Payung

By Sylvana Toemon, Senin, 7 Mei 2018 | 05:00 WIB
Payung (Sylvana Toemon)

Sebuah payung berguna untuk melindungi kita  pada waktu hujan ataupun panas. Namun, bagi Erni payung memiliki arti tersendiri. Payung telah membuat Erni jera untuk asal omong. Pagi itu udara sangat mendung. Erni bersiap-siap pergi ke sekolah.

“Bawa payung, Erni. Sebentar lagi hujan turun!” Mama mengingatkan.

“Tak usahlah, Ma. Masih keburu. Kalau Erni sudah tiba di sekolah, baru hujannya turun!” tolak Erni enggan.

“Uuuh, repotnya bawa payung. Sampai di jalan raya, aku kan bisa naik bajaj. Masak, sih, kehujanan!” kata Erni dalam hati.

Erni segera menyandang tasnya, pamit pada Mama, dan keluar dari rumahnya yang terletak di dalam gang.

Baru saja melewati beberapa rumah, seorang nenek keluar dari sebuah rumah kecil. Pakaiannya sederhana, rok biru dan blus putih. Ia membawa tas besar dan payung. Itulah Oma Ida, tetangga Erni.

“Selamat pagi, Oma!” sapa Erni. “Mau ke mana?”

“Oooh, selamat pagi, Erni. Oma mau ke rumah sakit. Untuk menjemput kenalan yang hari ini sudah diizinkan pulang. Syukurlah! Sudah empat hari Oma menunggui dia tiap malam,” jawab Oma Ida.

Mereka berjalan bersisian. Walaupun usianya sudah lanjut, tinggal sendiri di rumah, namun Oma Ida selalu sibuk. Ada saja orang yang minta bantuannya. Menjagai anak, berbelanja, memasak bila ada pesta, dan sebagainya. Wajahnya memancarkan keteduhan. Ia tak pernah mengeluh, walau hidupnya sangat sederhana. Anak laki-laki satu-satunya sudah menikah dan bekerja di luar kota.

“Sudah mau hujan. Kamu tidak bawa payung?” tanya Oma Ida.

“Payungnya rusak, Oma!” jawab Erni sekenanya, asal menjawab.

“Kasihan. Kalau begitu, bawa saja payung Oma!” kata Oma Ida sambil memberikan payungnya.

Erni terperanjat. Ia tahu Oma Ida bukan orang yang suka berbasa-basi.

“Tidak, terima kasih, Oma. Di depan sana aku akan naik bajaj. Sebelum hujan pasti sudah tiba di sekolah!”

Ada perasaan menyesal di hati Erni karena telah berbohong. Habis Erni malu kalau mengaku ia malas membawa payung.

“Tujuan Oma lebih dekat. Tuh, rumah sakitnya sudah kelihatan dari sini!” kata Oma sambil menunjuk bangunan tinggi berwarna merah bata di kejauhan.

“Jangan Oma, terima kasih!” kata Erni dan ia melambaikan tangan pada bajaj yang sedang berhenti di ujung gang. Erni mempercapat langkahnya dan naik ke dalam bajaj sesudah ada kesepakatan harga.

“Hati-hati, ya, Nak!” pesan Oma Ida sambil berdiri di dekat pintu bajaj. Brrrrm ... brrrrm ... bajaj meluncur  dan Oma Ida meneruskan perjalanannya. Hujan gerimis mulai turun dan Oma Ida mengembangkan payungnya.

Di dalam bajaj, Erni bersyukur. Hujan gerimis berubah menjadi hujan deras, tapi Erni sudah aman di dalam bajaj. Bajaj berhenti di pintu gerbang sekolah dan Erni bisa menumpang payung temannya yang baru turun dari mobil.

Ketika sekolah usai, cuaca sudah cerah. Erni pun pulang ke rumah. Mama sudah menunggunya seperti biasanya, “Makanlah. Ada bistik sapi kesukaanmu!” kata Mama. “Kamu tidak kehujanan tadi pagi?”

“Tidak, Ma. Yang kena hujan bajajnya. Perhitungan Erni hampir tepat, kan, Ma. Erni bilang kalau sudah sampai di sekolah baru hujan turun. Ternyata ketika Erni sudah naik bajaj, eh ... baru hujannya turun!”

“Dasaaar. Sudah salah perhitungan, kok, masih merasa hampir tepat!” kata Mama sambil tertawa.

Sesudah makan, Erni memeriksa agendanya. Melihat apa saja pekerjaan rumah yang harus dibuatnya.

“Banyak PR-mu hari ini, Erni?” tanya Mama.

“Lumayanlah. Kok, tumben Mama tanya-tanya PR?” tanya Erni dengan kening berkerut, merasa heran.

Selama ini Mama percaya padanya, dan tak pernah bertanya apakah PR-nya banyak atau sedikit.

“Mama ingin bicara sama kamu!” jawab Mama serius. Jantung Erni berdebar. Ada apa, sih? Erni jadi penasaran.

Mama mengajak Erni duduk di ruang tamu. Di atas meja ada sebuah benda sepanjang kira-kira 30 cm. Berwarna warni dan dibalut plastik.

“Eehh, ada payung? Lihat, ya!” kata Erni. Ia membuka sarung plastiknya dan mengembangkannya. Sebuah payung berbunga-bunga, masih baru.

“Mana payungmu yang rusak?” tanya Mama.

“Rusaaak? Payung Erni tidak rusak, kok, Ma!” jawab Erni polos.

“Tapi, kalau Mama mau kasih hadiah payung ini buat Erni, oke-oke saja. Payung ini lebih cantik, kok!”

Mama menghela napas dan menatap Erni, “Oma Ida membelikan payung ini untukmu. Katanya payungmu rusak. Kebetulan ia baru mendapat uang sesudah empat malam berjaga di rumah sakit!” Mama menjelaskan.

Erni tertegun. Empat malam berjaga di rumah sakit bukan tugas mudah. Baru saja Oma Ida mendapat uang sedikit, uang itu dibelikan payung untuk Erni. Padahal tadi  Erni cuma asal omong. Erni kagum akan kebaikan hati Oma Ida. Namun, Erni malu sekali. Kata-katanya ditanggapi serius oleh Oma Ida. Ternyata kata-katanya berpengaruh besar.

“Maafkan, Ma, Erni salah. Erni tadi asal omong bilang payung Erni rusak. Tak sangka Erni merepotkan Oma Ida!” kata Erni.

“Kalau begitu, kembalikan payung ini, minta maaf dan jelaskan apa adanya!” kata Mama. Erni bergegas pergi ke rumah Oma Ida, mengakui kesalahannya dan mohon maaf. Ia juga mengembalikan payung itu pada Oma Ida. Sejak itu Erni tidak berani asal omong tanpa dipikir dulu.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.