Sebuah Pengakuan Buat Doni

By Sylvana Toemon, Senin, 16 April 2018 | 10:00 WIB
Sebuah Pengakuan Buat Doni (Sylvana Toemon)

Petang hari Sabtu itu suasana rumah sepi. Ibu dan Ayah pergi ke supermarket. Mbak Mita, kakak Doni yang tertua, sedang pergi les organ. Wisnu, abang Doni, pergi latihan pramuka.

Mbok Sur, pembantu mereka, sedang berbenah di dapur. Doni sendiri asyik membereskan prangko-prangkonya. Sudah ada tiga buah album prangkonya. Aneka warna prangko dari berbagai Negara menghibur hati Doni, anak bungsu dari keluarga Harimanto.

"Kriiing!" terdengar telepon berdering. Dengan segan Doni mengangkat gagang telepon dan menjawab, "Halooo!"

"Ooh, Doni, yaa. Apa kabar? Mana Wisnu?"

"Kabar baik. Wisnu sedang latihan pramuka, Oma!"jawab Doni.

"Ada apa, Oma?"

"Hmmm, Oma ada sedikit kesulitan. Sayang Wisnu tidak ada. Biarlah, nanti saja Oma telepon lagi. Baik-baik di rumah, ya Don!"

Percakapan berhenti sampai di situ, perasaan iri Doni muncul lagi. Dalam beberapa bulan ini Wisnu sudah menjadi orang penting di rumah keluarga Harimanto, maupun di rumah Oma, neneknya. Padahal, usia kakaknya itu hanya terpaut satu tahun dua bulan. Dan apa yang dikerjakan Wisnu, rasanya Doni juga bisa mengerjakannya. Bukankah ia sudah sering memperhatikan Wisnu bekerja?

Mulanya sederhana saja. Suatu hari setrikaan di rumah rusak. Mbok Sur dan Mbak Mita tak dapat memperbaikinya. Ayah dan Ibu sedang di kantor. Lalu tampillah Wisnu. la memeriksa setrikaan itu. Lalu ia pergi ke toko alat-alat listrik untuk membeli elemen setrikaan. Di rumah dipasangnya elemen itu dan setrika itu pun panas dan bagus kembali. Mbok Sur sangat gembira karena pekerjaannya tidak jadi terbengkalai.

Malam harinya peristiwa itu dilaporkan pada Ayah dan Ibu. Mereka sangat senang. Kebetulan malam itu juga lampu neon di meja belajar Mbak Mita rusak. Rupanya kabelnya putus. Lagi-lagi Wisnu berhasil memperbaikinya.

"Wah, kita sudah punya seorang teknisi di rumah kita!" seru Ibu dengan gembira. Dan beberapa hari kemudian Ayah membelikan alat-alat pertukangan seperti obeng, tang, palu, dan sebagainya, khusus untuk Wisnu. Juga Wisnu dipercaya menangani urusan-urusan teknik di rumah, misalnya memasang bohlam, engsel pintu, membersihkan kipas angin, mengencangkan baut kacamata, dan sebagainya.

Ketika hal itu diketahui Oma dan Tante Hera, Wisnu juga mendapat tambahan tugas semacam itu di rumah Oma. Bahkan Wisnu juga diikutsertakan menangani kesulitan lain. Misalnya ketika tercium bau bangkai tikus di dapur Oma, Oma khusus menelepon Wisnu. Dan Wisnu mencarikan bangkai tikus itu Tentu saja Wisnu merasa senang. Walaupun ia baru kelas 6 SD, tapi rasanya ia sudah jadi orang yang penting dan dibutuhkan. Sementara itu Doni merasa ia hanya dianggap Doni kecil yang telaten mengatur prangko. Paling-paling bisa membantu Ibu  mencocokkan barang belanjaan dengan strook kasir.

Doni bangkit dan menuiis di white board: Telepon untuk Wisnu dari Oma. Jam 16.05. Lalu ia membereskan album prangkonya. Diputuskannya untuk pergi ke rumah Oma. Ini adalah suatu kesempatan. Siapa tahu ia bisa menolong Oma. Memang hanya Wisnu saja yang bisa menolong Oma.

la berpamit pada Mbok Sur, lalu berangkat. Di depan rumah Oma ditekannya bel. Oma membukakan pintu. Agak seret, daun pintu bergerit ketika menyentuh lantai.

"Oooh Doni? Mana Wisnu?" tanya Oma.

"Wisnu belum pulang, Oma!" jawab Doni, "Daun pintunya bergerit. Pinjam penggaris, Oma. Biar saya betulkan!"

Dengan penggaris yang diberikan Oma, Doni menggosok bagian bawah daun pintu. Pasir berhamburan ke lantai dan pintu itu pun lancar kembali.

"Oooh, terima kasih. Doni kecil sudah pandai, ya!" puji Oma.

"Doni sudah kelas lima, Oma!" kata Doni menahan jengkel.

Doni duduk dekat meja makan dengan Oma. "Wah, Wisnu belum pulang, ya. Pisau kesayangan Oma patah. Kalau ada Wisnu, mungkin dia bisa memperbaikinya. Biasanya Wisnu banyak akalnya. Pisau ini enak dipakainya!" Oma menjelaskan sambil menunjukkan pisau yang patah di bagian gagangnya.

"Wisnu lagi! Wisnu lagi!" dalam hati Doni menggerutu.

Doni memeriksa pisau itu dan berkata, "Ini bisa dilas, Oma. Saya bawa ke tukang las, ya, biar diperbaiki!"

"Harganya mahal tidak, ya. Kamu tahu di mana tukang lasnya? Kamu tahu pasti ini bisa dilas?" tanya Oma kurang yakin.

Doni berusaha meyakinkan Oma. Akhirnya Oma memberikan uang Rp 1.000,00 dan membiarkan Doni membawa pisau itu. Tak lama kemudian Doni sudah kembali.

Ongkosnya cuma Rp 500,00 dan pisau itu bisa dipakai lagi.

"Terimakasih, ya Don. Wah, Doni kecil sudah pintar!" Oma berkata.

"Siapa yang pintar?" tanya Tante Hera, yang baru pulang kerja. Oma menceritakan jasa-jasa Doni.

Tante Hera mengguncang-guncang bahu Doni dan berkata, "Hebat! Sekarang kita punya 2 teknisi yang canggih. Harus dirayakan, Io. Yuk, kita minum es krim!"

"Tunggu, jangan pergi dulu. Aku telepon ibunya dulu. Biar ibunya tidak cemas kalau Doni pulang kemalaman. Dan juga beritahu bahwa Doni akan diantar pulang!"

Oma menelepon ke rumah Doni.  Tak lama kemudian Oma selesai dan berkata, "Doni, ibumu bangga, Io. Kamu akan dapat hadiah!"

"Apa, Oma? Alat-alat pertukangan?" tanya Doni dengan dada berdebar-debar.

"Oh, bukan. Ibumu mau belikan album prangko!" jawab Oma.

"Biarlah, nanti kita sekalian beli alat-alat. Seorang teknisi harus punya alat, bukan? Hadiah dari Tante Hera!" kata Tante Hera.

Doni memeluk Tante Hera, dan mengucapkan terima kasih. Apa yang didambakannya sudah didapatnya, yaitu sebuah pengakuan.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna