Rumah Siput yang Terindah

By Sylvana Toemon, Rabu, 2 Mei 2018 | 10:00 WIB
Rumah Siput Terindah (Sylvana Toemon)

Pagi itu Tia terbangun dari tidurnya. Hembusan angin terasa sejuk. Terdengar debur ombak di pantai. Tia tersenyum. Ah, laut selalu membawa rezeki.Bila laut menghempaskan umang-umang, kulit kulit kerang, atau bunga karang, itulah rezeki bagi Tia.

Setiap hari Tia mengumpulkan kulit-kulit kerang dan rumah-rumah siput kecil. Ia lalu mencucinya bersih-bersih. Benda-benda itu lalu ditempelkannya di kotak perhiasan dari karton buatannya sendiri. Ia mengatur kulit-kulit kerang itu sedemikian rupa, hingga serasi, elok dipandang. Bila menemukan rumah-rumah siput besar, Tia pun akan memungutnya bila corak dan warnanya bagus. Sebab benda-benda itu pun pasti laku dijual. Dibeli orang-orang kota untuk dipajang di rumah. Tia menengok ke atas meja kamar dan menghela napas. Ia sudah membuat 23 buah kotak perhiasan.

Namun sudah tiga bulan ini Amang Azis belum datang lagi. Biasanya Amang Aziz yang membeli kotak perhiasan buatannya untuk dijual ke turis-turis.

Tiga bulan lalu, Amang Aziz pernah berkata, “Sekarang musim turis sedang sepi. Orang orang asing tak berani datang setelah ada kerusuhan di Indonesia. Tapi, sebaiknya kamu tetap buat kotak perhiasan. Siapa tahu nanti turis-turis ramai lagi.”

Tia menuruti pesan itu. Ia tetap membuat kotak perhiasan, dan tetap rajin mencari kulit kerang. Namun Amang Azis tidak muncul-muncul juga. Padahal Tia perlu uang untuk beli karton dan lem. Sebab persediaannya sudah menipis.

Pagi itu, Tia segera mandi lalu makan. Tadi malam ia sudah membuat PR dan membereskan tas. Jadi pagi ini ia bisa ke pantai sekitar satu atau dua jam. Sebab Tia sekolah siang. Dengan membawa kantung plastik Tia menuju ke pantai. Daun pohon-pohon gemerisik ditiup angin. Pantai sepi. Tampak satu dua perahu nelayan tertambat dan beberapa nelayan sedang memperbaiki jala.

Seorang ibu berambut pirang dan anak laki-lakinya yang berusia lima tahun ada di pantai. Anak itu sedang membuat bentengan pasir. Sebetulnya tidak biasa turis datang ke pantai dekat tempat tinggal Tia. Umumnya mereka hanya melihat-lihat perkampungan nelayan.

Ketika ombak memecah di pantai, Tia mulai mengamati dan memungut kulit-kulit kerang. Anak bule tadi rupanya sudah bosan bermain pasir. Ia ikut memperhatikan kulit-kulit kerang di pantai. Suatu ketika gelombang tinggi bergulung-gulung terhempas ke pantai. Ketika ombak mundur ke laut, Tia melihat sebuah rumah siput besar berwarna  jingga campur putih. Ooh, luar biasa indahnya. Anak bule tadi pun melihatnya. Tia berlari mendekatinya.  Anak itu juga. Namun, karena Tia lebih cepat, ialah yang berhasil memungutnya lebih dulu. Oooh, kalau kujual pasti mahal harganya, batin Tia. Namun anak tadi mulai menangis. Ia mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tidak Tia mengerti. Namun Tia tahu anak itu pasti menginginkan rumah siput jingga itu. Si ibu memeluk dan membujuk anaknya.

Timbul rasa iba di hati Tia. Jika anak dan ibu itu pulang ke negerinya, tentu rumah siput itu akan menjadi benda kenangan dari Indonesia. Akan tetapi... ah! Jarang terjadi laut menghadiahkan rumah siput yang demikian indah... Yang kalau dijual, harganya pasti mahal! Tia bergumul di dalam hati. Sementara itu anak tadi masih menangis. Hmm, mungkin aku akan mendapat rumah siput yang lebih indah... pikir Tia lagi.

Akhirnya Tia mendekati anak itu dan ibunya. Ia meletakkan rumah siput jingga itu ke tangan anak itu. Anak itu menghapus air matanya dan tersenyum.

“Terima kasih, kamu baik sekali!” kata si ibu ramah. “Siapa namamu?”

“Tia, Nyonya. Nyonya pandai bahasa Indonesia!” jawab Tia.

“Oooh, terima kasih. Saya sudah empat tahun di Indonesia dan mungkin akan lama tinggal di sini. Suami saya bekerja di perusahaan minyak!” ibu itu menjelaskan.

Kemudian ia dan Tia bercakap-cakap. Tia bercerita tentang musim turis yang sedang sepi. Dan kotak-kotak perhiasannya yang tidak laku. Mendengar itu, si ibu bertanya apakah ia boleh ikut ke rumah Tia. Untuk melihat kotak perhiasan buatan Tia.

Tia senang sekali. Bertiga mereka pergi ke rumah Tia. Ibu belum pulang dari pasar. Tia mengeluarkan kotak-kotak perhiasannya.

Well, saya akan beli 20 buah. Untuk teman-teman!” kata si ibu berambut pirang itu. Ia memberikan uang pada Tia. Wow, jumlahnya lebih banyak daripada harga 20 kotak perhiasan itu biasanya. Tia memasukkan 20 kotak itu ke dalam tas plastik besar.

“Terima kasih, Nyonya!” kata Tia dengan rasa haru.

“Terima kasih juga. Saya senang karena anak Indonesia tetap ramah, rajin, kreatif, dan baik hati. Walaupun keadaan di negara kalian sedang sulit!” ujarnya.

Si ibu dan anaknya pamit dan pergi. Tia terus memandangnya sampai mereka hilang di balik pohon-pohon kelapa dan gubuk-gubuk nelayan.

Suara debur ombak semakin merdu di telinga Tia. Ia bisa berbelanja lem dan karton untuk bahan membuat kotak perhiasan. Ia bersyukur pada Tuhan yang telah memberi rezeki pada hari itu. Ia juga bersyukur karena laut senantiasa memberikan kulit-kulit kerang dan rumah-rumah siput. Rumah siput jingga

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.