Liburan yang Mengesankan

By Sylvana Toemon, Minggu, 25 Maret 2018 | 10:00 WIB
Liburan yang Mengesankan (Sylvana Toemon)

Hari terakhir sekolah tiba. Tiga sekawan, Meiti, Lala, dan Titin, berjalan pulang dari sekolah dengan wajah gembira. Ketiganya naik kelas.

"Liburan kali ini aku tidak ke mana-mana. Dulu, sih, rencananya mau menginap di Puncak. Tapi, Ayah dan Ibu sibuk, tidak bisa cuti!" kata Meiti.

"Aku juga! Sebetulnya, keluargaku punya waktu untuk pergi berlibur, tapi tidak ada uang. Karena bulan lalu kami harus membayar biaya rumah sakit untuk Totok, adikku. Ya, sudah, terpaksa kami diam di rumah saja!" keluh Lala.

"Aku sih tak pernah memimpikan pergi berlibur. Punya adik segudang, mana bisa pergi berlibur. Ayah dan Ibu, kan, perlu biaya banyak. Asalkan sehat-sehat dan cukup makan, kami sudah bersyukur. Nah, bagaimana kalau kita merencanakan suatu kegiatan bersama?" usul Titin.

"Boleh juga. Lebih baik sekarang kalian ke rumahku. Lalu, kita bicarakan bersama-sama!" sambut Meiti.

Ketiga sekawan menuju rumah Meiti. Rumahnya sepi. Adik dan kakak Meiti belum pulang, ayah dan ibunya masih di kantor. "Nah, apa yang akan kita lakukan waktu liburan?" tanya Meiti.

"Bagaimana kalau kita membuat kue dan menjualnya?" usul Titin.

Meiti dan Lala saling memandang, lalu tertawa.

"Aaah, kita, kan, belum ahli membuat kue! Nanti kuenya tidak enak. Jangankan untuk dijual, untuk makan orang di rumah saja mereka tidak suka!" bantah Lala.

"Aku tidak berminat. Lagi pula, sudah banyak orang menjual kue. Kita mencari yang lain saja. Kalau bisa yang berguna untuk orang lain!" kata Meiti.

Ketiga sekawan itu berpikir.

Kemudian, Lala mengusulkan untuk bersama-sama mengerjakan sulaman. Titin mengusulkan untuk belajar membuat blus. Meiti mengusulkan untuk mengumpulkan buku-buku pelajaran bekas yang sudah tidak terpakai lagi. Lalu, menggelarnya di meja di depan rumah. Tetangga-tetangga di kompleks yang membutuhkan buku pelajaran boleh mengambilnya gratis.

"Ah, aku tidak bisa menyumbangkan buku-buku bekas. Adikku memerlukannya. Justru, kami membutuhkan bantuan buku bekas. Kalau ada buku yang robek, terpaksa ibuku harus beli yang baru untuk adik-adikku!" kata Titin.

"Oh, tak apa-apa. Kamu pun boleh ambil buku yang kamu perlukan. Kita akan mengumpulkannya dari teman-teman di sekolah atau dari para tetangga. Sayang, daripada buku-buku bekas itu terbuang sia-sia di rumah. Siapa tahu ada orang lain yang memerlukannya!" jawab Meiti dengan semangat.

"Ayo, deh, kita coba saja!"  ujar Lala menyetujui.

Keesokan harinya ketiga sekawan itu mulai mengumpulkan buku-buku bekas. Lusanya, mereka menggelar meja di depan rumah Meiti. Melihat mereka, beberapa tetangga yang belum menyumbang, ikut menyumbang. Beberapa di antaranya cuma melihat-lihat. Namun, yang meminta buku pelajaran hanya satu orang.

"Aah, kita hanya membuang waktusaja. Orang-orang di kompleks ini cukup berada. Mereka tak mau pakai buku bekas. Kalau mau berhasil,harusnya kita pindah ke daerah kumuh!" kata Titin.

"Daerah kumuh itu apa, sih?” tanya Meiti.

"Daerah kumuh itu artinya adalah  daerah yang padat penduduknya. Sebagian dari penduduk itu adalah orang-orang tak punya," Titin menjelaskan.

"Oooh .... Tapi, aku takut dimarahi Ibu. Katanya di daerah seperti itu banyak anak berandal. Lagi pula bagaimana cara mengangkut buku-buku ini? Kalau dekat bisa naik bajaj. Kalau harus naik bis, berarti kita masing-masing harus mengangkat satu dos!" keluh Meiti. Lala dan Titin tertawa mendengar jawaban Meiti.

Tiba-tiba Lala berkata, "Hai, kita tak usah susah-susah. Kita gelar saja buku-buku itu di pasar. Kita numpang di balai-balai Mang Udin, langganan sayur ibuku. Maksudku, di pasar kecil dekat kampung di luar kompleks perumahan ini! Kukira akan banyak peminatnya di sana. Lagi pula letaknya tidak begitu jauh!"

"Naik apa kita ke sana?" tanya Meiti.

"Kita jalan kaki saja. Pinjam alat pendorong koper ibumu. Itu, Io, besi yang pakai roda untuk mengangkut koper. Dua dos bisa diikatkan di alat itu. Dos yang satu lagi bisa kita angkat bergantian! Kan, jadi tidak berat," Lala menjelaskan.

"Wan, usulmu bagus!" kata Titin.

"Kurasa di daerah itu banyak yang bisa memanfaatkan buku-buku bekas ini!"

Rencana itupun dilaksanakan. Dengan senang hati Mang Udin menyisihkan sepertiga balai-balainya untuk tempat buku. Sebuah karton besar bertuliskan, "Buku Pelajaran Gratis. Siapa perlu, boleh ambil."

Pengumuman itu dipasang di atas buku-buku itu. Dengan lucu, Mang Udin berteriak, "Sayang perut, beli sayuran. Sayang anak, belikan mainan. Sayang uang, ambil buku pelajaran bekas. Siapa cepat, dia dapat!"

"Bukan sayang uang, Mang Udin. Memang tak punya uang untuk membelikan anak buku pelajaran. Untung ada neng-neng ini yang baik hati menyediakan buku!" kata seorang ibu yang sibuk memilih buku-buku dengan anaknya.

Peminatnya cukup banyak. Apalagi keesokan harinya, berita itu tersebar dari mulut ke mulut. Sesudah pasar sepi, ketiga sekawan itu sibuk mencari tambahan buku-buku bekas.

Tetangga dan kawan-kawan yang belum menyumbang mereka datangi. Empat hari lamanya mereka sibuk. Sesudah itu, buku-buku bekas mereka sudah tinggal beberapa buah saja.

"Kalian anak-anak yang baik, mau memperhatikan orang yang tidak mampu. Liburan masih panjang. Bagaimana kalau kalian main ke desa Mang Udin di Cipeteuy? Kalian bisa menginap di sana seminggu. Makan gratis, tidur gratis asal mau tidur di balai-balai. Kendaraan gratis karena kita akan ikut mobil kenalan Mang Udin!" Mang Udin menawarkan.

Ketiga sekawan itu amat gembira mendengar tawaran yang tak disangka itu. Mereka akan minta izin dulu di rumah. Sungguh liburan ini amat mengesankan.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.