Pikir Dahulu Akibatnya

By Sylvana Toemon, Senin, 12 Maret 2018 | 10:00 WIB
Pikir Dahulu Akibatnya (Sylvana Toemon)

Abi, Maria, dan Yati bersahabat sangat akrab. Usia mereka sebaya. Rumah mereka berdekatan. Ketiga anak itu sebenarnya baik hati. Tetapi, jika ada anak yang berani mengganggu mereka .... Hmm, tunggu saja pembalasannya!

Pada suatu siang, mereka bertiga berkumpul di halaman rumah Abi. Ketiganya berbicara berbisik-bisik. Tampaknya sedang membicarakan suatu rahasia.

"Windi itu sudah keterlaluan nakalnya! la sering menarik rambutku!" ujar Abi yang berambut panjang.

"Dia sudah tiga kali memecahkan kacamataku!" sambung Yati geram.

"la juga pernah membuat aku malu. Pokoknya, kita harus membuat dia benar-benar jera!" cetus Maria.

Maria teringat akan ulah Windi di pesta ulang tahun Rahma. Waktu itu, Maria yang tomboy dan berambut pendek, memakai rok barunya. Walau berambut pendek, Maria tampak manis dengan rok barunya itu. Tetapi, Windi malah tertawa terpingkal-pingkal.

"Ha ha ha! Coba lihat! Ada anak cowok pakai rok! Ha ha ha!" gurau Windi.

Anak-anak yang lain juga ikut tertawa. Kalau mengingat hal itu, bukan main dongkolnya hati Maria.

"Nah, sekarang, kita laksanakan rencana pembalasan kita!" perintah Maria penuh semangat.

Abi segera masuk ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian, ia keluar membawa segulung tali plastik. Ketiganya lalu berlari menuju pohon rambutan kembar, dekat rumah Windi. Di tempat tersebut, memang tumbuh berhadapan dua pohon rambutan yang sama besar. Abi bersembunyi di balik pohon rambutan di tepi kanan jalan, Yati di tepi kiri jalan. Abi dan Yati masing-masing memegang ujung tali plastik. Untuk sementara, tali itu mereka kendurkan.

Rumah Windi berada kira-kira 200 meter dari pohon rambutan kembar. Tugas Maria adalah memancing Windi agar keluar dari rumahnya.

"Windi gendut! Beraninya cuma sama anak perempuan!" teriak Maria berulang-ulang.

Mendengar ejekan itu, tentu saja panas hati Windi.

"Awas, kau!!" ancam Windi.

Maria kembali mengolok-olok. Sampai akhirnya Windi keluar dari pagar rumahnya, lalu mengejar Maria. Maria berlari secepat-cepatnya. la memang jago lari. Windi mengejar dengan susah payah. Tubuhnya yang gemuk susah untuk berlari. Ketika melewati pohon rambutan kembar, Maria langsung berteriak, "Tarik!!"

Abi dan Yati segera menarik ujung tali yang digenggam.

Windi sangat terkejut, ketika tiba-tiba di hadapannya terbenteng seutas tali.

"Aauu ...." "Bruk ...." Windi jatuh tertelungkup, tersandung tali. "Ohh ..!!" rintihnya sambil mencoba berdiri.

Dagu, tangan dan lutut Windi berdarah. Abi, Maria dan Yati sangat terkejut. Mereka tak menyangka kalau akibatnya akan segawat itu. Ketiga anak perempuan itu segera berlari menolong Windi berdiri. Lalu, mereka memapahnya ke tepi jalan.

"Maafkan kami, Win! Kami kira, kau hanya akan tersandung dan mendapat luka kecil. Tapi... aduhh ... kok, jadi berdarah begini!"ucap Yati panik.

Maria segera berlari ke rumahnya, mengambil kapas dan obat merah. Ketiga anak itu lalu membersihkan dan mengobati luka Windi.

"Kau bandel sih, Win! Makanya kami bertiga balas dendam!" ujar Abi sambil mengolesi luka Windi dengan obat merah.

"Aduh ... duh .... Uh, kalian ini keterlaluan! Kalau mau balas dendam, pikir-pikir dulu akibatnya! Kalau kaki atau tanganku patah, bagaimana?" keluh Windi sok tahu.

"Kamu juga! Kalau mau mengganggu orang, pikir-pikir dulu akibatnya. Kalau orang yang kamu ganggu berniat balas dendam, bagaimana?!" tantang Abi, Maria, dan Yati.

Ketiga anak perempuan itu lalu tertawa terbahak-bahak. Windi ikut tertawa malu. Tetapi ia lalu meringis, karena lukanya terasa nyeri. Sementara itu, Abi, Maria, dan Yati tertawa terpingkal-pingkal lagi.

"Hen ... apa yang lucu?" tanya Windi heran.

"Wajahmu, Win!" jawab Abi menahan tawa. "Kau seperti pemain drama. Tertawa sambil meringis," sambung Yati.

"Ha ha ha ... aduh ... duh ...ha ha ha ... aduh ... duh ...." Maria meniru mimik Windi dengan kocak.

Windi akhirnya ikut tertawa terpingkal-pingkal bersama ketiga anak perempuan itu.

Tampaknya mereka sudah saling memaafkan!

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: V. Parengkuan.