Ada Maaf Dalam Persahabatan 1

By Sylvana Toemon, Jumat, 23 Maret 2018 | 02:00 WIB
Ada Maaf dalam Persahabatan (1) (Sylvana Toemon)

Kawan-kawan sekelas memanggil mereka JJ. Memang nama kedua anak kelas 5 SD itu Joy dan Jenny. Kedua sahabat itu seakan-akan tak pernah terpisahkan. Mereka pergi dan pulang sekolah bersama, walaupun rumah mereka berjauhan. Rumah Jenny tak jauh dari sekolah. Setiap pagi Joy akan naik bis sampai rumah Jenny. Lalu bersama-sama jalan kaki ke sekolah. Mereka ke mana-mana berdua, bahkan ke WC sekolah pun berdua. Joy dan Jenny mempunyai banyak persamaan. Wajah mereka selalu ceria.

Keduanya termasuk anak yang pandai dan rajin di kelas, dan gemar menyanyi. Di pesta-pesta ulang tahun kawan-kawan mereka kerap berduet. Keduanya pun gemar makan es krim. Anehnya, keduanya juga malas membaca buku cerita dan membantu ibu memasak. Pada hari Sabtu  mereka sering pergi berenang dan pulang dari kolam renang berjalan kaki di trotoar di bawah pohon sambil bercerita macam-macam. Bahkan kadang-kadang mangkhayalkan masa depan yang indah, saat mereka dewasa dan merencanakan untuk mengelilingi dunia berdua.

Suatu hari Jenny sakit. Sore hari Joy pergi menengok sahabatnya sambil membawakan buah jeruk dan buku catatan.

"Aku belum kuat mencatat. Tubuhku masih demam dan kepalaku pening!" keluh Jenny. "Tak apa, lusa aku datang lagi. Kalau kamu sudah sehat aku akan menjelaskan pelajaran yang sudah diterangkan Ibu Guru di sekolah!" hibur Joy.

"Wah, kamu sakit sehari, rasanya bagaikan setahun! Aku sangat kesepian di sekolah." Jenny menatap sahabatnya dan tersenyum.

"Aku pun ingin lekas sembuh. Doakan aku, ya!" katanya.

Empat hari lamanya Jenny tidak masuk sekolah. Pada hari ketiga Jenny sudah mulai sembuh dan mulai mencatat pelajaran-pelajaran dari buku catatan Joy. Pada hari itu Joy datang lagi.

"Aku sudah menduga kamu masuk hari ini. Aku minta Ibu membuatkan makaroni panggang dan kubawakan khusus untukmu!" kata Joy dengan wajah berseri-seri.

"Oh, terima kasih. Aduh, senangnya punya sahabat seperti kamu!" kata Jenny.

Tiba-tiba wajah Jenny murung. "Joy, ada sesuatu yang tidak enak. Aku betul-betul minta maaf. Ini, kukembalikan buku catatan IPS-mu. Cuma, buku catatan IPA-mu dirobek adikku. Kemarin aku mencatat di meja ruang tamu. Karena amat lelah, aku tidur dan membiarkan catatan itu di meja. Ketika bangun, ternyata Don sudah merobek-robek buku catatan IPA-mu. Bagaimana kalau nanti kubelikan buku tulis baru dan kucatatkan untukmu? Sungguh, aku sangat menyesal. Maaf, ya," Jenny menjelaskan.

"Oh, tenang saja, Jen. Kamu, kan, tidak sengaja. Anak seumur Don memang belum mengerti. Dia  cuma senang merobek-robek kertas. Dia pasti tidak bermaksud merobek buku catatanku. Sudahlah, kamu kan baru sembuh dari sakit. Nanti malam kupinjam catatanmu dan kucatat lagi catatan IPA itu, paling cuma 10 halaman, kok," Joy menenangkan sahabatnya.

Jenny memeluk Joy. Oh, betapa indahnya persahabatan bila satu sama lain saling mengerti dan memahami. Waktu istirahat ke satu mereka berdua menikmati makaroni panggang. Rasanya tak puas-puasnya mereka bercerita.

Sesudah istirahat, tibalah pelajaran IPA. Ibu Guru, mengulangi pelajaran yang lalu dan kemudian menyuruh anak-anak mencatat dari papan tulis. Anak-anak sibuk mencatat. Suasana kelas hening. Kemudian Ibu Guru Diah menuju ke bagian belakang kelas. Rupanya ia mau menyobek kalender karena bulan sudah berganti. Dan di bangku paling belakang di baris kedua duduk Yadi dan Gun, dua anak laki-laki yang bandel.

"Mana buku catatan kalian? Kok mencatat di kertas!" Suara Ibu Diah memecah keheningan kelas.

"Maaf Bu, ketinggalan!" jawab Gun. Jawaban Yadi juga sama. Tiba-tiba saja Ibu Diah marah.

"Kalian seenaknya saja. Sudah tahu ada pelajaran IPA, masa tidak mempersiapkan buku catatan? Ayo, keluar saja, duduk di bangku di luar kelas sana. Untuk apa mengikuti pelajaran IPA kalau tidak peduli. Besok kalian harus memperlihatkan buku catatan IPA kalian. Temui Ibu di ruang guru!" kata Bu Diah.

Setelah itu Ibu Diah memeriksa buku catatan anak-anak satu persatu. Dan ketika tiba di meja Joy, Ibu diah mendapatkan Joy juga menulis di kertas.

"Kamu anak perempuan, tapi sama lalainya seperti anak laki-laki. Masa tidak bawa buku catatan? Ayo, keluar! Temani kawanmu yang sama-sama bandel!" seru Ibu Diah dengan jengkel. Joy berdiri dan memandang Jenny yang duduk dua bangku di belakangnya di baris ketiga. Tapi, Jenny diam saja. Joy mengangguk, memberi isyarat agar Jenny menjelaskan. Tapi Jenny terus saja sibuk mencatat.

"Lekas keluar, tunggu apa lagi? Ternyata kamu lebih bandel daripada anak laki-laki!" sambung Bu Diah. Joy keluar kelas dengan menahan geram dan tangis.

Dadanya serasa mau meledak. Air matanya berlinang. Oh, betapa memalukan. la yang selama ini dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai hari ini disamakan dengan Yadi dan Gun yang bandel.

Joy memandang halaman sekolah. Suasana sepi. Sayup-sayup terdengar anak kelas I belajar membaca. Beberapa ekor burung bermain di bawah pohon tanjung di mana Joy dan Jenny sering bercanda pada pagi hari dan mengumpulkan bunga-bunga tanjung bila sekolah masih sepi.

Dia amat kesal pada Jenny. Bukankah bila Jenny mau menjelaskan bahwa adiknya yang merobek-robek buku Joy, mungkin Bu Guru mau mengerti. Tapi, mengapa Jenny membisu? Mengapa tega membiarkan Joy dipermalukan dan duduk di luar kelas bersama kedua anak bandel itu? Sungguh Joy tak bisa menerima hal itu.

Joy amat kecewa. Rasanya tak ada gunanya selama ini ia bersahabat dengan Jenny. Ternyata Jenny hanya mau enaknya saja. Apa yang terjadi selanjutnya? Mengapa Jenny diam saja? Apa yang terjadi pada Joy dan Jenny sesudah persahabatan mereka...

Bersambung

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.