Ayah Pulang

By Sylvana Toemon, Sabtu, 19 Mei 2018 | 10:00 WIB
Ayah Pulang (Sylvana Toemon)

Petang itu matahari bersinar cerah. Sama seperti wajah Yudi yang sebentar-sebentar tersenyum. Namun, wajah Edo, kawannya tidak cerah. Kedua anak itu duduk bercakap-cakap di sebuah jembatan kecil yang sepi. Dua buah bungkusan besar berisi tumpukan

kertas yang akan direkat dan dilipat menjadi amplop tergeletak di atas trotoar. Daun-daun rindang pohon kedondong di tepi kali menaungi mereka dari panas matahari petang.

"Kamu amat beruntung, Yud. Minggu depan ayahmu pulang. Kamu tidak usah lagi bersusah payah mencari nafkah seperti sekarang ini!" kata Edo.

"Sabar, Do! Suatu waktu nanti ayahmu juga akan pulang. Sekarang kamu sudah biasa mencari uang. Kamu bisa menyewakan payung kalau hari hujan, bisa menerima upahan merekat amplop dan membantu di warung Bi Ipah. Tak ada yang perlu kau khawatirkan!" hibur Yudi.

"Ingat, segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu susah, ada waktu senang!"

"Ya, aku sangat berterima kasih padamu. Karena bimbinganmu, aku berani berjuang mencari nafkah. Aku tidak merasa malu mengerjakan pekerjaan apa saja, asal halal. Keluarga kami sangat terbantu!" Edo mengucapkan terima kasih.

"Ah, kita, kan, sama-sama senasib. Ayah kita sama-sama bekerja di tempat yang jauh. Ayah kita, sama-sama mendapat kesulitan sehingga belum bisa mengirim uang untuk keluarga. Sudah seharusnya sesama kawan saling menolong!" jawab Yudi.

Edo terdiam. la ingat masa-masa yang amat sulit ketika keluarganya tak punya uang. Ayahnya yang bekerja di luar negeri jatuh sakit dan tak bisa mengirim uang bagi keluarga. Lalu, ibunya mulai mencari pekerjaan. Edo dan kedua adiknya, Gita dan Riko, mulai belajar mengurus diri sendiri. Ketika mereka berangkat ke sekolah, Ibu juga berangkat bekerja. Ketika mereka pulang sekolah, Ibu masih di tempat pekerjaan. Sore hari Ibu baru pulang. Lalu, ia memasak dan mencuci pakaian. Mereka tak bisa lagi menggaji pembantu.

Di sekolah, Edo yang biasanya periang berubah menjadi anak pendiam. la tak bisa lagi pergi main mobil-mobilan ke pertokoan bersama kawannya. la tak lagi pergi ke toko buku membeli buku-buku cerita. la tak lagi jajan di kantin. Setiap uang yang akan dikeluarkan harus benar-benar diperhitungkan.

Yudi mulai mendekati dan menasihatinya, "Aku juga pernah mengalami hal yang sama. Memang berat! Tapi, kamu tidak boleh menyerah kalah pada keadaan. Bantulah ibumu. Paling tidak kamu bisa mencari uang untuk membayar sekolahmu atau membeli keperluanmu sendiri."

Kemudian Yudi mengajak Edo bekerja. Tiga bulan telah berlalu. Kini berita gembira datang bagi Yudi. Ayah Yudi akan pulang dari pedalaman Kalimantan, la mendapat pekerjaan di Jakarta. Yudi sudah membuat segudang rencana. la akan belajar sungguh-sungguh agar bisa menjadi juara. la akan rajin pinjam buku di perpustakaan lagi. Sekarang ini, waktunya habis untuk mencari uang dan belajar. la tak sempat membaca buku cerita. la juga akan masuk Pramuka lagi, memelihara anjing, dan melakukan hal-hal yang  menyenangkan.

Sebetulnya, Edo juga turut gembira mendengar keberuntungan Yudi. Tetapi, ia merasa bebannya semakin berat. Tak ada kawan senasib lagi bila ia pergi menyewakan payung. Tak ada kawan untuk sama-sama membawa bungkusan amplop yang cukup berat. Tak ada kawan bila ia membantu di warung Bi Ipah. Tak bisa lagi ia bekerja sambil bersenda gurau dengan Yudi. Lebih-lebih lagi, ia tak tahu kapan ayahnya pulang. Sudah enam bulan ayahnya pergi.

Berita terakhir tiga bulan yang lalu mengabarkan ayahnya sakit dan tak bisa mengirim uang. Sesudah itu, tak ada berita apa-apa lagi. Masih lumayan Yudi. Ayah Yudi mengatakan bahwa ia tak bisa mengirim uang karena bekerja di pedalaman, tak ada kantor pos di sana. la tak berani mengirim uang melalui orang yang kurang bisa dipercaya. la minta supaya keluarga bersabar. la akan segera pulang atau mengirim uang segera setelah ada kesempatan.

"Sudah sore, mari kita pulang!" ajak Yudi. Edo mengangguk.

Kedua anak itu pulang sambil menenteng bungkusan masing-masing. Di jalan kedua anak itu diam saja. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Yudi memikirkan betapa senangnya minggu depan bila ayahnya pulang.

Sementara itu, berulang-ulang Edo meyakinkan dirinya sendiri, "Kamu harus kuat. Tuhan akan menolongmu seperti la telah menolongmu selama ini. Turutlah bergembira dengan keberuntungan Yudi. Suatu hari nanti Ayah pasti pulang!"

Sesampai di persimpangan jalan, Yudi dan Edo berpisah. Edo mempercepat langkahnya. Kedua adiknya pasti menunggu. Bila mereka mengalami kesulitan membuat PR, mereka selalu bertanya pada Edo. Di depan rumah, Edo tertegun. Pintu yang biasa tertutup kini terbuka. Sepasang sepatu pria tergeletak di keset di teras. Jantung Edo berdebar. Edo melangkah masuk. Tampak ayahnya duduk di bangku panjang. Kedua adiknya duduk di pangkuan Ayah dan memeluknya.

"Ayah!" seru Edo.

Lekas-lekas ia meletakkan bungkusannya dan merangkul Ayah. Ayah memeluk Edo dan mengusap-usap kepalanya. Air mata Edo berlinang. Beban berat yang ditanggungnya selama ini lepas sudah. Yang ada hanyalah kegembiraan dan kasih sayang serta kerinduan yang dipuaskan. Akhirnya Ayah pulang pada saat yang tepat.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.