Saku Kesebelas Pak Kulas

By Sylvana Toemon, Sabtu, 12 Mei 2018 | 10:00 WIB
Saku Kesebelas Pak Kulas (Sylvana Toemon)

Menjelang peringatan Hari Proklamasi, 17 Agustus, warna merah putih menjadi primadona. Orang-orang sibuk mengecat pagar rumah dan membuat gapura di ujung jalan. Bendera merah putih aneka ukuran berkibar di setiap rumah. Lampu-lampu warna-warni berkelap-kelip menambah suasana semarak. Seperti biasa di setiap RT/RW diadakan aneka pertandingan. Balap karung, panjat pinang, lomba makan kerupuk adalah acara yang biasa diadakan di mana-mana.

Namun, di kampungku selalu ada satu acara yang berbeda. Acara istimewa itu bisa berupa lomba nyanyi lagu “Indonesia Raya”, kuis kemerdekaan, menyebut nama jenderal, memarut singkong, menebak isi saku Pak Kulas yang jumlahnya ada 11, dan lain-lain. Pokoknya terserah Pak Kulas, sang sponsor. Beliau selalu menyediakan hadiah yang menarik.

Setiap tanggal 17 Agustus, Pak Kulas selalu tampil dengan celana panjang abu-abu bersaku empat, dua kiri dan di kanan, dan dua di lutut. Kemejanya berwarna abu abu dengan tujuh saku. Dua di dada, dua di bawah, dua di bagian depan sebelah dalam kemeja dan satu saku besar di punggung bagian dalam.

Lalu dengan suaranya yang nyaring ia akan memimpin lomba yang disponsorinya. Kata orang, Pak Kulas tak pernah merayakan ulang tahun.

“Buat apa ulang tahunku diperingati, yang penting ulang tahun kemerdekaan negara kita!” kata Pak Kulas. “Berapa banyak pahlawan yang sudah gugur dalam perjuangan kemerdekaan? Kita harus bersyukur karena negara kita ini sudah merdeka. Jadi 17 Agustus harus dirayakan!”

Namun, pada 17 Agustus kali ini, Pak Kulas tidak tampak. Ada sesuatu yang hilang rasanya dalam peringatan hari proklamasi di kampung ini.

Pak Kulas memang sudah meninggal empat bulan yang lalu. Di usia yang ke-80 tahun. Kami semua bersedih dan merasa kehilangan. Pak Kulas tidak dimakamkan di taman pahlawan. Namanya juga tidak terpampang di teve atau surat kabar. Pak Kulas memang hanya seorang penjahit kampung. Namun, ia adalah pahlawan di hati kami dan mempunyai kenangan tersendiri. Setiap orang di kampung kami tahu kisah Pak  Kulas, singkatan dari Saku ke-11.

Waktu negara kita sedang berjuang untuk merdeka, Pak Kulas masih muda.  Namanya waktu itu belum Pak Kulas, tapi Asikin. Nah, Asikin ini penjahit yang kreatif. Suatu hari ia membuat untuk dirinya sendiri celana panjang dan kemeja bersaku 11. Bahannya didapat dari kenalannya, seorang Belanda.

Nah, suatu hari ada pembersihan di kampung kami. Pasukan Belanda mencari dokumen rahasia yang menurut berita ada pada salah seorang warga kami. Semua rumah dan orang diperiksa, namun dokumen itu tidak diketemukan.Ternyata dokumen rahasia itu dititipkan pada Pak Kulas. Orang pikir Pak Kulas tidak akan dicurigai, karena langganan jahit Pak Kulas kebanyakan orang-orang Belanda.

Pak Kulas memang diperiksa, tapi dokumen itu tidak berhasil ditemukan. Itu  karena ia menyimpannya di dalam saku kemejanya yang ke-11. Di bagian punggung sebelah dalam. Sejak itu orang-orang mengubah nama Asikin menjadi Kulas, singkatan dari Saku ke-11.

Ketika Indonesia sudah merdeka, Pak Kulas tetap menjadi penjahit kampung. Dan setiap 17 Agustus ia memakai celana dan kemejanya yang bersaku 11. Ia juga menjadi sponsor lomba di kampung. Pak Kulas bukan orang kaya. Tapi ia menabung setiap bulan agar bisa membelikan hadiah-hadiah untuk 17 Agustus-an. Ia selalu mengingatkan anak-anak untuk tidak tawuran.

“Yang benar saja, masak tawuran sama saudara sendiri. Memalukan. Memangnya Indonesia bisa merdeka, kalau dulu para kakek kalian tidak bersatu melawan penjajah?” begitu nasihat Pak Kulas.

Kini Pak Kulas sudah tak ada di dunia, namun kisahnya tetap hidup di antara orang-orang di kampung kami. Ia sangat bangga mempunyai bangsa yang merdeka. Perbuatan Pak Kulas menjadi teladan bagi kami.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna