Aku punya teman, Pipit namanya. Kami tidak satu sekolah. Bahkan kelasku setingkat lebih tinggi daripada dia. Tetapi kami berdua sangat akrab. Rumah kami lumayan berdekatan. Rumahku di pinggir jalan, sedang rumah Pipit terletak di ujung gang yang berseberangan dengan rumahku. Di gang itulah kami sering bermain-main.
Sayangnya, susah sekali mengajak Pipit bermain. Sepulang sekolah ia lebih suka membantu ibunya.
"Kasihan Ibu kalau bekerja sendiri," selalu begitu alasannya.
Kadang-kadang karena jengkel, kuadukan ia kepada Mama. Tapi Mama malah senang Pipit rajin membantu ibunya.
"Contohlah dia!" kata Mama.
Akhirnya, tempat mengadu yang paling tepat adalah Arin, teman sebangkuku di sekolah. Tidak kusangka, Arin mengenal Pipit juga. Mama Arin sering memesan kue pada ibu Pipit. Arin bahkan tahu bahwa ibu Pipit yang sekarang adalah ibu tirinya. Ibu kandung Pipit sudah meninggal.
"Ah, masa!" tukasku kaget.
"Pipit tak pernah menceritakannya padaku."
"Tanya mamamu, deh, kalau tak percaya!" kata Arin.
Aku ragu Mama tahu. Tak pernah ada orang yang membicarakan hal itu di rumah. Jadi, Mama langsung kutanya ketika pulang sekolah, "Mama tahu, kan, ibu Pipit itu hanya ibu tiri?"
Mama mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaanku. "Tentu saja Mama tahu," jawabnya. "Pipit masih kecil ketika ditinggal ibunya. Kenapa kamu mempersoalkannya?"
"Aku mengerti sekarang," kataku pasti, tanpa menjawab pertanyaan Mama. "Pipit membantu ibunya karena takut, bukan rajin seperti Mama bilang."
"Benar yang dibilang Non Desi, Nyonya," Bik Is yang hilir mudik merapikan meja makan kemudian menimpali. "Kemarin Pipit cuma telat pulang dari renang di sungai, dimarahi habis-habisan. Dasar ibu tiri!"
"Bibiiikk...!" Mama tampak kesal. "Kalau seorang anak perlu dimarah, ya dimarah. Tak peduli kita ini ibu kandung atau ibu tirinya. Desi tak suka ibu Pipit bukan lantaran ia ibu tiri, tapi karena Desi tak bisa menerima Pipit lebih suka membantu ibunya daripada bermain sepanjang hari!"
Aku tak mengerti mengapa Mama membela ibu Pipit. Padahal jelas-jelas ibu Pipit menyuruh Pipit bekerja keras setiap hari. Mengharuskan Pipit bangun pagi pagi untuk membantunya memasak, membantu membuat kue sepulang sekolah, dan bila bermain harus sambil menjaga adik.
Ketika aku menengok ke jendela, kulihat Pipit memarut kelapa di gang. Dia melambai ke arahku. "Nanti aku main!" teriaknya.
Yah, aku harus menunggu. Kalau aku ingin mengajakya bermain sekarang, aku harus menurut kata Mama, untuk minta izin kepada ibu Pipit. Mana aku berani.
Sorenya Pipit datang juga bersama Lala. Kebetulan Mama membelikanku mainan plastik. Ada piring, gelas, baskom dan banyak lagi alat dapur yang lain. Kami lalu bermain jual-jualan di gang.
"Bagaimana kalau pakai api sungguhan?" usul Pipit tiba-tiba ketika melihatku berpura-pura merebus air. la merogoh kantong celananya.
"Aku punya korek api.”
Aku tahu tidak boleh bermain api. Tetapi, bagaimana ya kalau pakai api? Ah, kan, bisa seperti masak sungguhan! Maka kusuruh Lala mencari ranting-ranting kayu kecil. Ranting-ranting itu kumasukkan ke dalam kompor yang terbuat dari tanah liat. Kunyalakan korek. Kemudian baskom plastik yang berisi air kuletakkan di atasnya. Aduh, betapa bodohnya kami! Tentu saja baskom plastik itu terbakar! Syukurlah, ibu Pipit cepat keluar! Sambil mengomel, ia memadamkan api. "Kalian tak boleh bermain api!" ujarnya marah. "Lihat-lihatlah! Mainan baru Desi terbakar. Kalian harus menggantinya!"
"Oh, tak usah!" sergahku takut-takut. "Saya yang salah!"
"Anak-anak Tante yang salah. Mereka membawa korek!" "Saya lebih besar. Saya seharusnya lebih tahu mana yang boleh dan tidak boleh," kataku.
Biar pun takut, aku tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatanku. Buru-buru kukumpulkan mainanku, sembari menambahkan, "Maafkan saya. Saya berjanji tak akan mengajak Pipit bermain lagi."
"Ya, sudah...sudah!" ibu Pipit mengalah, malah kemudian tertawa mendengar penyesalanku.
"Tentu saja Desi boleh tetap bermain dengan Pipit," ujarnya lembut.
"Bermain-main boleh, tapi kalau sampai sepanjang hari itu keterlaluan. Siapa menemanimu bermain di rumah kalau pulang sekarang?" Aku tak menjawab.
"Bagaimana kalau sekarang membantu Tante membuat kue?"
Begitulah. Sore itu aku belajar membuat kue bikang. Ibu Pipit ternyata ramah orangnya. Ia menyisakan adonan kue untuk kami bentuk sesuka kami. Dan, tentu saja kami boleh memakan sepuas-puasnya kue yang kami panggang sendiri. Aku tak takut lagi padanya.
"Ibumu baik, ya!" bisikku kepada Pipit.
"Selalu baik!" jawab Pipit tersenyum. Di matanya tak ada rasa benci atau dendam.
Kusadari sekarang, betapa aku telah berprasangka yang bukan-bukan terhadap ibu Pipit. Benar kata Mama, bahwa aku tak suka ibu Pipit bukan lantaran ia ibu tiri, tapi karena aku tak bisa mengajak Pipit bermain kapan pun aku ingin. Padahal salah,bukan, menilai seseorang menurut kepentingan kita sendiri?
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.