Dua Orang Sahabat

By Sylvana Toemon, Senin, 5 Maret 2018 | 12:00 WIB
Dua orang sahabat (Sylvana Toemon)

Ada dua orang sahabat yang bernama Bandi dan Badu. Mereka sama-sama yatim piatu dan tinggal di gubuk yang sama. Suatu hari kedua sahabat itu mendapat pekerjaan dari seorang pedagang sayur besar. Bandi dan Badu bertugas menjajakan sayur-sayur itu ke pelosok desa.

"Besok jam empat pagi, kalian berdua harus sudah berada di sini," pesan Bapak pedagang sayur itu.

"Baik, Pak!" sahut keduanya serempak.

Di perjalanan pulang, Badu menggerutu.

"Huh! Jam empat pagi. Saat itu orang-orang masih enak tidur. Lalu kita disuruh datang

jam empat. Enak saja juragan sayur itu!"

"Tidak begitu sebenarnya," kata Bandi sabar. "Pedagang sayur itu walau sudah kaya, sudah bangun sejak jam tiga pagi. Lalu ia menghimpun sayuran dari para petani sayur. Lalu satu jam kemudian menyerahkannya pada para penjaja seperti kita, untuk kemudian kita jual. Nah, kalau ia yang sudah kaya saja masih bekerja keras, apalagi kita yang baru mulai bekerja."

"Uaaah!" Badu menguap. "Sudah! Sudah! Aku ingin cepat tiba di rumah. Aku ngantuk sekali."

 Ayam berkokok. Bandi segera bangun. Jam bekernya menunjukkan angka setengah empat. Bandi lega ketika tahu ia belum terlambat.

"Badu! Badu bangun, sudah setengah empat!" Bandi membangunkan sahabatnya.

Tapi Badu tak bergeming. Tampaknya ia masih asyik dengan mimpinya. Bandi membangunkannya dengan lebih ribut. Tapi tak ada hasilnya. Kemudian Bandi mengambil air. Air dipercikkan ke wajah Badu. Tak disangka, Badu sangat marah.

"Pergi sana pengganggu! Orang enak-enak tidur kauganggu!"

"Kau mau bekerja tidak?" tanya Bandi jengkel.

"Tidak!" semprot Badu marah, lalu bergelung lagi dengan sarungnya.

"Ya sudah kalau tidak!" balas Bandi marah.

Kemudian dengan perasaan tak enak Bandi pergi ke rumah Pedagang sayuran. Ia sebenarnya tak ingin meninggalkan Badu sendirian, tapi apa boleh buat, Badu tukang tidur, sih.

"Mana temanmu?" tanya Bapak Pedagang sayur heran.

"Masih tidur, Pak."

"Lho, mengapa?" tanyanya heran.

"Tampaknya Badu sakit. Mungkin agak siang dia baru kemari," sahut Bandi.

Ia sebenarnya tak enak harus membohong seperti itu. Tapi, kan, Badu sahabatnya.

"Ya sudah! Ambil pikulan itu. Kau jajakan ke Desa Mekar. Kalau sayuranmu habis, segeralah kembali!"

"Baik, Pak!" sahut Bandi.

Bandi mulai mengangkat pikulan itu. Berat sekali. Tapi ia harus bisa. Ah, pasti lama-lama juga bisa, katanya dalam hati. Bandi memikul sayuran sambil bernyanyi-nyanyi.

"Sayuuur, sayur segar!" Bandi berteriak-teriak dengan riang.

Sebelum tengah hari Bandi sudah kembali ke rumah pedagang itu. Wajahnya tampak lelah, tapi kelihatan sekali ia gembira.

"Bagaimana?" tanya pedagang sayur itu.

"Habis semua, Pak!" sahut Bandi.

Majikannya tampak senang. Kemudian pedagang sayur itu bercerita, Badu datang jam delapan. la meminta sayuran yang akan dijajakannya. Pedagang itu menyerahkan pikulan sayuran pada Badu. Tapi baru lima langkah dari rumah, Badu sudah kembali dan menyatakan tak sanggup berjualan sayuran. Bandi sedih mendengarnya. Ketika Bandi pulang ke  rumah, ia menasihati sahabatnya. Tapi Badu tidur-tiduran di dipannya. Ketika Bandi menawarinya makanan yang diperolehnya dari hasil kerjanya, Badu tidak sungkan-sungkan memakannya.

Begitulah terus menerus, Bandi yang bekerja keras, Badu turut menikmati hasilnya dengan bermalas-malasan. Bandi sebenarnya sangat kesal, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena ia terlalu baik. Tapi rupanya keadaan berubah setelah Bandi dipercaya menjadi pembantu tukang sayur, Bandi tak usah lagi berkeliling menjajakan sayuran. Tugas Bandi adalah menghitung pembukuan usaha tersebut. Rupanya pedagang sayur itu terkesan akan kejujuran dan keuletan Bandi.

"Badu, kita akan segera berpisah," kata Bandi.

"Lo, mengapa?" Badu terkejut setengah mati.

"Karena aku disuruh untuk pindah ke rumah majikanku. Pekerjaan baru menantiku. Jadi mau tidak mau aku harus pergi dari gubuk ini."

"Lalu aku bagaimana? Dari mana aku bisa hidup?" teriak Badu.

"Itu terserah kamu. Selama ini aku sudah memberi kesempatan padamu. Tapi kau tak juga berubah. Tetap malas, tetap tukang tidur. Sudah cukup aku menolongmu. Selamat tinggal, Badu!" kata Bandi sambi! mengangkat barang-barangnya.

Badu terdiam sedih. Tapi rupanya Bandi masih memikirkan sahabatnya. Lalu ia menoleh pada Badu.

"Karena kau sahabatku, aku masih mau menolongmu. Tapi itu pun bergantung pada dirimu. Kalau kau butuh pekerjaan, datanglah padaku. Kau bisa mulai menjadi penjaja sayur pikulan, seperti yang pertama kulakukan dulu," teriaknya.

Lalu Bandi pun pergi meninggalkan Badu yang termenung, menyesali dirinya.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Renny Yaniar