Tradisi Pindapatta Menjelang Waisak

By Sylvana Toemon, Rabu, 10 Mei 2017 | 11:58 WIB
Tradisi pindapatta menjelang Waisak (Sylvana Toemon)

Menjelang Waisak para biksu berkeliling sambil membawa mangkuk dan periuk. Wajah mereka menunduk. Apa yang mereka lakukan, ya? Mereka sedang melakukan pindapatta.

Pindapatta

Pindapatta berasal dari 2 kata, pinda dan patta. Pinda berarti gumpalan atau bongkahan makanan. Patta berarti mangkuk makan. Pindapatta dapat diartikan pengumpulan makanan dengan menggunakan mangkuk.

Dahulu mangkuk yang digunakan terbuat dari buah labu yang disayat bagian atasnya kemudian dikerok isinya. Sekarang, mangkuk yang digunakan para biksu berbahan keramik atau logam, seperti yang kita gunakan sekarang.

Tradisi pindapatta ini sudah ada sejak zaman kehidupan Sang Buddha Sidharta Gautama.

Melatih supaya tetap rendah hati

Pindapatta adalah cara untuk melatih para biksu dan biksuni supaya tetap rendah hati dan juga memberikan kesempatan kepada umat Buddha untuk melakukan kebaikan.

Saat ini, sedekah yang diberikan saat pindapatta tidak hanya berupa makanan. Selain makanan, ada juga yang memberikan obat-obatan dan uang.

Pindapatta selalu diawali dengan doa bersama. Selanjutnya para biksu dan biksuni berjalan beriringan dengan membawa periuk tembaga sambil melantunkan parita (kidung pujian). Umat Buddha sudah menunggu berjejer-jejer di pinggir jalan untuk memasukkan pemberian mereka ke dalam mangkuk.

Tidak sama dengan mengemis

Pindapatta tidak sama dengan mengemis. Para biksu dan biksuni tidak boleh meminta-minta kepada umat. Umat Buddha-lah yang harus memberikan kepada para biksu dan biksuni dengan sadar dan ikhlas.

Bagi yang memberikan juga tidak boleh asal-asalan. Pemberian ini harus direncanakan dengan tekad kuat. Berbahagia dan bersyukur adalah salah satu kewajiban umat pada saat pindapatta.