Hal pertama yang diingat Sobri ketika bangun dari tidur siang adalah latihan sepak bola. la bangga karena terpilih ikut dalam regu sepak bola Karang Taruna di RW-nya yang akan bertanding melawan RW tetangga.
Sobri bergegas mandi. Setelah mengambil sepotong singkong yang baru digoreng adiknya, ia mencari sepatu olah raganya. Tetapi, sepatu butut yang sudah robek ujungnya tidak ditemukannya.
"Sin, kamu lihat sepatu olah ragaku?" tanya Sobri pada adiknya, yang juga sedang mengunyah singkong goreng dengan lahap.
"Sepatu yang sudah bolong depannya? Memangnya masih dipakai?" tanya Husin serius.
"lyaa, mana? Cepat, aku mau latihan sepak bola!" kata Sobri tidak sabar.
"Ya, maaf, Bang. Kukira sudah tidak dipakai. Tadi kutukarkan dengan singkong. Aku lapar. Habis, Emak meninggalkan nasi cuma sedikit!" Husin mengaku.
Wajahnya memancarkan rasa takut. Darah Sobri mendidih. Ingin ia menampar adiknya. Walaupun sepatunya sudah butut, Husin tidak berhak menukarkan sepatu itu dengan singkong. Tetapi, Husin menukarkannya karena ia lapar. Sobri menahan diri untuk tidak menampar adiknya. Mungkin Emak yang salah. Mengapa meninggalkan nasi cuma sedikit? Tetapi, Emak hanya buruh pabrik yang selalu kekurangan uang, walaupun bekerja dari pagi sampai petang, bahkan kadang-kadang sampai malam.
"Ya, sudahlah. Sudah nasibku tidak bisa mewakili RW kita dalam pertandingan sepak bola!" Sobri berkata dengan nada mengeluh bercampur pasrah.
Wajahnya mendung, bagaikan awan hitam yang tengah menggumpal di arah timur. Sobri duduk termenung. Kalaulah hal ini terjadi dalam cerita, alangkah mudah penyelesaiannya. Kawan-kawannya akan patungan untuk membelikan ia sepatu olah raga baru. Atau ada kawan kaya yang menolongnya. Atau ia menemukan dompet berisi uang jutaan rupiah dan mendapat hadiah karena mengembalikannya kepada si pemilik. Tetapi, tak ada kawannya yang kaya. Mereka semua tinggal di perkampungan kumuh.
Tiba-tiba Sobri teringat, ia pernah membaca ada pemain sepak bola terkenal yang latihan tanpa sepatu karena tak mampu beli sepatu. Semangat dalam dirinya timbul dan ia pun pergi latihan. Di lapangan ia menceritakan musibah yang menimpanya pada kawan-kawannya.
"Sudahlah, pinjam saja sepatu kakakku. Tetapi, sehabis latihan kembalikan lagi!" kata Dudung.
Sobri pun kemudian latihan sepak bola dengan sepatu pinjaman. Awan mendung makin lama makin tebal. Tepat pada saat latihan selesai, hujan gerimis mulai turun. Sobri dan Dudung berlari-lari ke rumah Dudung. Hujan turun dengan lebatnya hingga Sobri tak bisa pulang ke rumah. Ia senang juga karena bisa nonton TV dulu di rumah Dudung. Di rumah ia tak pernah nonton karena tak punya TV. Hampir sejam lamanya hujan turun dan baru kemudian berhenti. Sobri pamit pulang dan mengucapkan banyak terima kasih.
Hari sudah gelap. Di rumah Emak sudah pulang dan sedang menggoreng ikan asin. Dandang sudah terjerang di atas kompor.
"Aku tadi latihan sepak bola di RW, Mak. Sesudah itu nonton TV di rumah Dudung sekalian mengembalikan sepatu kakaknya yang kupinjam. Sepatuku ditukar dengan singkong oleh Husin!" Sobri lapor pada Emak.
"Husin mana? Coba kamu cari. Sebentar lagi nasi masak, kita bisa makan!" kata Emak.
Sobri pun pergi mencari adiknya. Mula-mula dicarinya ke rumah kawan-kawannya, tetapi tak ada. Kata Mbak Sarah, tadi ia melihat Husin membawa payung hitam besar ketika hujan mulai turun. Kemudian Sobri pergi ke ujung jalan dan bertanya pada tukang rokok.
"Husin pergi ke pertokoan. Katanya ia mau menyewakan payung!" kata Mang Ukar.
Sobri pun pergi ke pertokoan. Beberapa anak kecil yang juga menyewakan payung sedang berjalan pulang dengan baju dan rambut basah kuyup. Payung mereka sudah dilipat dan wajah mereka gembira. Mungkin mereka berhasil memperoleh uang yang lumayan. Mereka berjalan sambil menyibakkan air yang tergenang di jalan.
Ketika Sobri bertanya, salah seorang di antaranya menjawab, "Tadi si Husin mengantarkan seorang ibu dan anaknya ke tempat parkir mobil, sesudah itu tidak kelihatan lagi!"
Sekarang Sobri mulai bingung. Ke mana anak itu? Tak mungkin ia masih berada di sana, sebab hujan sudah berhenti. Tak ada lagi orang yang mau menyewa payung.
"Mungkin ia sudah pulang!" Pikiran itu menenangkan hatinya.
Sobri berjalan pulang. Di depan halte bis sebuah metro mini berhenti. Seorang anak laki-laki turun dengan membawa payung hitam dan sebuah tas plastik.
"Husin. Sin, Husiiin!" panggil Sobri dengan gembira.
Husin menoleh dan tersenyum.
"Abang mencari aku? Kita dapat rezeki, Bang!" kata Husin dengan riang.
"Abang dapat sepatu olah raga. Sudah bekas, tetapi masih bagus, tidak bolong. Merknya terkenal lagi. Kalau di toko harganya bisa mahal sekali. Aku juga dapat celana dan baju kaos!"
Kedua anak itu pulang sambil bercakap-cakap. Menurut Husin, tadi ia menyewakan payung pada seorang ibu dan anaknya dari depan toko sepatu ke tempat parkir mobil. Lalu Husin menanyakan berapa harga sepatu olah raga pada ibu tersebut. Husin terkejut ketika tahu harga sepatu di toko itu amat mahal. La menceritakan tentang sepatu kakaknya yang ditukarkan dengan singkong. Ibu itu mengajaknya ke rumahnya dan memberikan Husin sepatu bekas untuk Sobri dan baju untuk Husin. Sesudah itu ia diberi uang Rp 1000,00 untuk naik bus. Sobri bersyukur karena tadi ia tidak menampar adiknya. Juga ia bersyukur karena Tuhan telah menggerakkan hati ibu yang dermawan untuk menolongnya
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.