Pengaruh Seorang Kawan

By Sylvana Toemon, Senin, 2 April 2018 | 05:00 WIB
Pengaruh Seorang Kawan (Sylvana Toemon)

Di sekolah aku berkawan baik dengan Ika dan Meli. Di rumah, di kalangan tetangga aku bersahabat dengan Rini dan Lia. Tetapi, tak seorang pun di antara mereka yang mempengaruhiku seperti kawan baruku, Angel.

Mulanya biasa saja. Minggu sore aku sedang meyiram tanaman. Tiba-tiba, seorang anak perempuan sebayaku menghentikan sepedamininya di depan rumahku.

"Halo, rajin amat kamu!" sapanya sambil tersenyum.

Kulihat sebuah wajah yang ceria, dengan rambut dipotong pendek berponi. Matanya bersinar bagaikan bintang.

"Aku Angel, tetangga barumu. Rumahku nomor 7, di sana itu!" sambungnya sambil menunjuk ke arah seberang sebelah kanan. "Kami baru pindah kemarin. Boleh aku masuk?" Lancar sekali bicaranya. Lagi-lagi ia memamerkan kedua lesung pipitnya.

Aku membuka pintu. la pun masuk. Kami bersalaman lalu bercakap-cakap. Kutahu ia mempunyai seorang adik laki-laki. Ayahnya bekerja di perusahaan asing dan sering berpindah-pindah tempat tugas. Besok, ia akan masuk sekolah yang sama denganku. Kemudian ia berpamit. Katanya, ia akan berkeliling untuk berkenalan dengan yang lain. Ternyata, ia sudah mengenal Rini. Kuberikan nomor rumah Lia. Kupikir, tak usah kuantar, ia pasti bisa berkenalan sendiri. la begitu ramah dan menyenangkan. Dalam hati, kuharap ia akan sekelas denganku.

Keesokan harinya, ia betul-betul muncul di sekolah. Ternyata, ia sekelas denganku. Senyumnya makin melebar ketika ia tahu aku sekelas dengannya!

"Oh, untungnya aku! Punya kawan baik, sekelas, bertetangga lagi. Kalau aku ada kesulitan dalam pelajaran, boleh ya aku minta bantuanmu! Terima kasih, ya!" katanya dengan gembira.

"Belum dibantu, sudah bilang terima kasih!" kataku sambil tertawa.

"Untuk persekot!" katanya.

Waktu istirahat pertama. Ia mengajak kawan-kawan untuk nonton film hari Sabtu nanti. "Ada film anak-anak yang bagus. Tentang seorang anak yang mengalahkan pencuri!" Angel menjelaskan.

"Kamu mau menraktir?" tanya Meli.

"Tidak, bayar sendiri-sendiri. Kita, kan, belum bisa cari uang, Bagaimana bisa menraktir?" Angel mengemukakan alasannya.

 "Perginya naik apa?" tanya Ika.

"Naik bus boleh. Kalau ada yang pinjamkan mobil boleh juga, lalu uang bensin ditanggung bersama. Pokoknya bisa diatur!"

Ternyata, kemudian ia juga mengajak Rini dan Lia.

"Mereka, kan, tidak kenal dengan kawan sekolah kita. Kenapa kamu ajak?" tanyaku heran.

"Ya, sekarang belum kenal. Tapi, kan, nanti jadi kenal!" katanya.

"Makin banyak kawan, makin bagus, kan?"

Di luar dugaan, Rini dan Lia mau ikut nonton film tersebut. Ibu Lia meminjamkan mobil dengan sopir. Maka jadilah kami berenam pergi menonton film. Pulangnya kami makan kue donat. Kulihat Angel membeli dua buah kue donat untuk dibawa pulang.

"Untuk Ibu, Ayah dan adikku! Kalau Ayah dan Ibu pergi jalan-jalan, mereka sering membawakan oleh-oleh!" kata Angel.

"Kamu tidak malu beli hanya dua buah?" tanyaku heran. Setahuku paling sedikit, orang akan membeli lima buah.

"Ah, malu apa? Beli satu pun harus mereka layani dengan baik. Sudah untung kita mau membeli dagangannya!" jawab Angel.

"Tidak beli tiga? Ganjil amat, dua kue untuk tiga orang?" tanyaku lagi. Angel tertawa.

"Uangku tidak cukup kalau beli tiga. Biarlah, Ayah, Ibu, dan adikku yang membaginya. Yang penting, kan, perhatiannya, bukan jumlahnya!" begitu alasan Angel.

Aku terkesan akan perilaku Angel. Tak pernah terpikir olehku untuk mengorbankan uang sakuku bagi Ayah, Ibu, dan saudara-saudaraku.

Keesokan harinya adalah hari Minggu. Aku dan Angel pergi ke pasar. la ingin tahu di mana pasar terdekat di daerah tempat tinggal kami. Kami berjalan dengan santai. Di jalan dekat pasar, seorang anak kecil berumur 2 tahun sedang  menangis sambil memanggil, "Ibuuu, ibuuuu ...."

Angel cepat menggendong anak itu dan membujuknya, "Cup, cup,diam sayang! Yuk, kita cari Ibu!"

Angel mengusap-usap kepala anak itu. la juga menghapus air matanya dengan sapu tangannya. Tangis anak itu mereda. Dari jalan raya muncul ibu anak itu dan berkata, "Oh, Kiki mengapa menangis? Ibu tidak pergi jauh. Ibu hanya bayar bajaj sebentar. Mana kakakmu?"

Si Ibu lalu mengambil Kiki dan mengucapkan terima kasih kepada Angel. Kami pun melanjutkan perjalanan.

"Kamu kok berani menggendong anak itu? Kalau dia tetap menangis bagaimana? Kalau kamu dikira penculik anak bagaimana?" tanyaku heran.

"Apakah rupaku seperti pencuri anak?" Angel malah balas bertanya.

"Kalau kita melihat seseorang butuh pertolongan dan kita bisa menolongnya, kita harus lakukan. Kalau tidak, berarti kita tidak peduli akan kebutuhan orang lain!" kata Angel.

Sungguh aku terkesan. Diam-diam, aku bertekad untuk meniru jejaknya. Hari demi hari, aku berkawan dengan Angel, makin banyak kudapatkan hal-hal yang baru. Misalnya, ketika suatu petang aku ke rumahnya untuk mengembalikan catatan IPA, ia sedang mencuci motor bersama ayahnya.

"Lo, kamu, kok, mau mencuci motor? Itu, kan, pekerjaan laki-laki!" komentarku.

Seperti biasa, Angel tertawa dan menjawab, "Ah, aku hanya membantu. Sekarang ini wanita bisa mengerjakan apa saja, bukan? Adikku, Dodi, juga bisa membantu ibuku menggoreng kerupuk. Ya, sama-samalah. Hitung-hitung belajar suatu keterampilan!"

Sepuluh bulan lamanya aku berkawan dengan Angel. Waktu kenaikan kelas kami berpisah. Ayah Angel dipindahkan tugas ke kota lain. Kini Angel sudah jauh. Namun, pengaruhnya masih kurasakan. Antara lain aku selalu menyemir sepatuku meniru Angel yang tak pernah mau ke sekolah dengan sepatu tak disemir. Terutama, aku belajar untuk bersikap ramah. Ternyata, hal itu sangat menyenangkan. Sungguh aku beruntung pernah berkenalan dengan kawan yang memberi pengaruh baik pada diriku. Kuharap kamu pun memiliki kawan semacam itu.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna