Para Penulis Pesan

By Sylvana Toemon, Kamis, 17 Mei 2018 | 10:00 WIB
Para Penulis Pesan (Sylvana Toemon)

Ibu baru pulang dari kantor. la  membuka kulkas, menuangkan air dingin ke gelas dari botol dan minum. la mengerutkan kening, lalu tersenyum. Ada sepotong cokelat di rak kulkas. Ada kertas bertuliskan: Awas,  beracun!

Tulisan cakar ayam itu pasti buah pena Ade. Lalu ada mangga sepiring kecil. Ada kertas bertuliskan: Sudah diludahi. Siapa lagi yang menulis kalau bukan Riko. Dan ada lima buah kue nastar dalam kantung plastik. Juga ada kertas bertuliskan: Titipan Ibu Guru. Nah, tulisan yang rapi ini pastilah hasil karya Siska.

Sekali lagi Ibu menggelenggelengkan kepala. Tiga anak kreatif telah menuliskan pesan di kulkas. Tujuannya jelas, agar tidak ada yang berani mengganggu makanan itu. Walaupun ada juga hal yang tak masuk akal. Siapa yang percaya cokelat itu beracun? Dan mana mungkin ibu guru mau menitipkan kue kepada murid? Atau tidak jijikkah Riko bila ia benar-benar meludahi mangga itu?

Tak lama kemudian para penulis itu bermunculan. Ade dan Riko habis main dari rumah kawan. Bajunya kotor dan bau keringat bercampur matahari. Siska baru pulang dari rumah Kak Ami, les matematika. Mereka bergantian mandi. Sudah itu masing-masing mengambil hartanya di kulkas, membuang kertas yang ada tulisan di keranjang sampah.

Ade baru membuka kertas timah coklat, ketika Ibu menegur, "Jangan dimakan, De. Cokelatnya beracun!"

Ade tertawa.

"Cuma akal-akalan kok, Ma, supaya tidak dimakan Mas Riko!" kata Ade.

"Mangga ini juga tidak kuludahi. Cuma peringatan saja supaya tidak diambil Kak Siska," sambung Riko.

 

"Aku juga tidak mau mengambil manggamu yang asam!" Siska membela diri.

"Tapi mangga ini manis, tidak asam. Kalau asam, tentu tidak diambil. Kalau manis, siapa tahu!" Riko tak mau kalah.

"Kamu yang suka mengambil makanan orang. Kalau kue nastar ini tidak kutuliskan Titipan Ibu Guru mungkin sudah kamu habiskan," Siska mulai panas.

"Hei, hei, sudah, jangan bertengkar. Tahu tidak, kalian kreatif menulis pesan-pesan di kulkas, tapi itu juga menunjukkan suasana di rumah kita tidak sehat. Ada saling curiga. Jangan suka curiga, nanti seperti cerita kura-kura!" kata Ibu.

"Bagaimana kura-kuranya, ceritakan dong, Ma," pinta Ade.

"lya, Ma, ceritakan!" kata Riko dan Siska serentak.

"Baiklah," kata Mama.

"Begini, ada tiga kura-kura mau pergi berjalan jalan. Mereka berjanji untuk bertemu di bawah pohon talas di ujung jalan. Masing-masing harus membawa makanan. Nah, pada waktu yang ditentukan seekor kura-kura bawa makanan, yang dua ekor tidak. Mengapa yang dua ekor tidak membawa makanan? Sifat jeleknya apa?"

"la malas. Mau minta makanan kawannya!" kata Ade.

"la tidak menepati janji!" kata Siska.

"la mau enaknya saja. Tidak mau repot!" kata Riko.

"Nah, ternyata kalian pandai semua. Kita teruskan ceritanya, ya. Karena hari mau hujan, mereka perlu bawa payung. Jadi seekor kura-kura yang tak bawa makanan itu disuruh pergi ambil payung. la bersedia, asal kedua kawannya itu mau menunggunya, tidak meninggalkannya ataupun memakan bekalnya."

 

"Maka kedua kura-kura yang lain menunggu, sementara kawannya mengambil payung. Eh, ternyata kawan itu tidak muncul-muncul."

Karena sudah siang dan sudah lapar, salah satu kura-kura ingin makan. Tapi dicegah kawannya, karena kan sudah janji tidak akan makan bekal itu. Akhirnya ketika sudah pukul 2 siang kedua kura-kura itu memutuskan untuk makan bekal.

"Ah, mungkin dia tidak datang. Masak ambil payung saja butuh waktu beberapa jam!" kata kura-kura yang tidak membawa makanan.

"Oke, mari kita makan saja!" kata kura-kura yang membawa makanan..

Tiba-tiba dari semak-semak terdengar suara, "Kalian bohong. Dari mula aku tidak percaya. Bagi aku makanannya!"

Dan muncullah kura-kura ketiga. Ternyata ia tidak pergi mengambil payung. Karena curiga pada kudua temannya.

"Makanan ini hanya cukup untuk dua orang," kata kura-kura yang membawa makanan. "Salah satu dari kalian harus mencari makanan sendiri."

Dua kura-kura yang tidak bawa makanan bertengkar dan kura-kura yang bawa makanan asyik makan. Akhirnya makanan habis, tidak jadi  tamasya dan ketiganya bermusuhan.

"Bodoh sekali kura-kura itu. Lebih baik bagi tiga makanannya," kata Siska.

"Seharusnya masing-masing bawa makanan!" kata Riko. "Jangan saling mengganggu orang lain."

Ibu tersenyum. "Kembali pada makanan di kulkas, sebaiknya bagaimana?" tanya Ibu.

"Kalau bukan makanan milik sendiri jangan diambil. Kalau ingin tanyakan pada pemiliknya. Dibagi, ya, syukur, tidak dibagi tak apa-apa," kata Siska.

"Kalau punya makanan, jangan pelit sama saudara," kata Riko. "Nah, begini saja. Taruh makanan kalian di kulkas. Jangan kuatir diambil siapa-siapa. Tak usah capek-capek menulis di kertas, memikirkan apa yang harus ditulis. Setuju?" kata Ibu.

Ketiga anak itu setuju.

Esoknya ketika Ibu pulang dari kantor, di dalam kulkas ada makanan milik anak-anak tanpa tulisan. Tapi di pintu kulkas sudah ada tempelan kertas: Jambu air milik Riko. Kura-kura yang suka jambu, boleh ambil sebuah - Ada kacang di kulkas. Monyet-monyet yang suka kacang boleh ambil, asal jangan dihabiskan Aku mau jambu dan kacang, tapi aku bukan monyet atau kura-kura.

Ibu menggeleng-gelengkan  kepala. Ada-ada saja anak-anak ini. Memang sudah ada kemajuan. Tapi, harus diapakan ya anak-anak yang gemar menulis ini? Kalian bisa menolong?

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna