Bersusah Payah Dahulu

By Sylvana Toemon, Minggu, 29 April 2018 | 02:00 WIB
Bersusah Payah Dahulu (Sylvana Toemon)

Hari pertama ke sekolah  sesudah libur cawu II sungguh menyenangkan. Anak-anak senang karena berjumpa kembali dengan kawan-kawan, saling bercerita dan membagi pengalaman. Udara cerah, secerah hati Eko dan Budi. Kedua anak itu tidak sabar menunggu saat istirahat tiba. Sudah ada rencana untuk melakukan sesuatu, mungkin lebih tepat memamerkan sesuatu.

Saat yang dinanti tiba. Bel istirahat berbunyi. Eko menggamit lengan Cecep.

"Yuk, kita ke kantin. Kamu boleh pilih, mau makan apa? Bakso atau nasi goreng?" kata Eko pada Cecep.

"Dan silakan pilih, mau minum teh manis, es kelapa,atau es krim?" Budi menambahkan. Cecep terheran-heran.

"Hei, ada apa ini? Aku tahu pasti kalian tidak ulang tahun, kok, mau menraktirku?" tanya Cecep.

"Sekali-sekali kalau lagi kaya boleh, kan, menraktir teman? Apalagi kawan baik!" kata Budi dan ia tersenyum penuh arti pada Eko.

Serentak Budi dan Eko mengeluarkan dompet dari saku celana. Wow, dompet hitam bagus, sama warna dan modelnya.Cecep makin heran.

"Kalian sudah punya dompet baru? Siapa yang memberi?" tanya Cecep.

Budi dan Eko tertawa. "Oh, ini bukan hadiah. Ini dibeli di Pasar Senen," Budi menjawab.

"Sudahlah, mari kita segera ke kantin. Bicara terus nanti waktu istirahatnya habis."

"Tapi aku masih penasaran. Kalian berdua tampak begitu gembira dan banyak uang. Apa yang terjadi sebetulnya?" Cecep mendesak.

"Akan kami ceritakan bila selesai makan. Pokoknya inilah hasil bisnis di waktu libur," jawab Eko.

"Mengapa aku tidak diajak? Payah, tidak ingat sama kawan!" kata Cecep dengan kesal.

"Jangan marah dulu. Ingatkah kamu aku pernah  mengatakan bahwa aku mau  belajar mengecat tembok pada Mang Karta? Waktu itu pamanku menginap di rumahku selama seminggu," Budi menjelaskan.

Ketiga anak itu memesan makanan dan menikmatinya.

"Kita sambung ya ceritanya," kata Budi.

"Waktu itu kamu tidak mau belajar mengecat tembok. Jadi aku dan Eko saja yang belajar. Sesudah kami pandai, pada liburan yang lalu kami mengecat rumah tetangga. Dan hasilnya kami bisa beli dompet dan mentraktirmu. Sebagian juga sudah kami masukkan ke tabungan di bank!"

"Wah, kalau aku tahu begini jadinya, aku mau juga," kata Cecep dengan nada menyesal.  "Kalau nanti kalian mendapat pekerjaan lagi aku diajak, ya."

Budi dan Eko menggelenggelengkan kepala.

"Kamu belum bisa mengecat, kami tak bisa mengajakmu. Harus belajar dulu. Kami belajar dan berlatih mengayunkan kuas, mencampur cat tembok dengan air, mengaduknya. Waktu itu tangan kami pegal-pegal. Kalau temboknya kotor, harus diamplas dulu. Pokoknya banyak yang harus dipelajari. Kalau sudah terampil, baru bisa menjual jasa dan tenaga kita," Budi menjelaskan.

"Mengapa kalian dulu tidak menjelaskan padaku bahwa belajar mengecat tembok akan menghasilkan uang? Kukira hanya iseng-iseng saja, untuk mengisi waktu santai!" kata Cecep.

"Lo, kami sendiri juga tidak tahu, kok, waktu itu. Pokoknya ada kesempatan belajar keterampilan, ya belajar saja. Paling tidak kita, kan, bisa mengecat rumah kita sendiri. Jadi menghemat biaya dan menyenangkan hati orang tua. Eh, kemudian ternyata malah menghasilkan uang!" Eko menambahkan.

Makanan dan minuman sudah habis. Eko dan Budi membayarnya. Cecep mengucapkan terima kasih. Sambil menuju kelas, Cecep berkata, "Benar-benar aku rugi."

Budi dan Eko tertawa.

"Tidak berdagang kok dibilang rugi? Makanya, ingat pepatah berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian," kata Eko.

"Sudahlah, masih ada kesempatan, kok. Kamu bisa belajar kalau mau. Kami ajarkan, kemudian kamu praktekkan mengecat kamarmu," saran Budi.

Bel masuk berbunyi. Anak-anak masuk ke kelas. Hari pertama kembali ke sekolah memang menyenangkan. Terutama bagi mereka yang sudah memanfaatkan masa liburan sebaik mungkin. ***

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna