Tak seorang pun tahu nama asli pedagang pisang molen yang mangkal di depan sekolah itu. Tetapi, anak-anak sering memanggilnya, Pak Molen. Pisang molen buatannya cukup laris. Rasanya enak, manis, harum, dan besar lagi.
"Cocok untuk sarapan! Siang cocok untuk mengisi perut yang mulai keroncongan," kata anak-anak.
Pagi itu, Pak Molen datang lebih pagi dari biasanya. la segera membuat adonan, mengupas pisang, dan mulai memanaskan minyak goreng. Tangannya tampak lincah mengerjakan semuanya itu. Tak lama kemudian, bau harum pisang molennya mulai menyebar ke mana-mana.
Beberapa waktu kemudian, pisang molennya sudah cukup banyak. Sekali-sekali, ia menengok jam tangannya, lalu pandangannya mengarah ke lonceng besi yang tergantung di depan kantor Kepala Sekolah. Ia mengharapkan, bel itu segera dipukul dan istirahat pertama segera tiba.Bel istirahat berbunyi. Pak Molen memandangi pintu-pintu kelas. Ia tersenyum melihat anak-anak mendekati gerobak dorongnya.
"Itu dia, Gembong sudah muncul," kata Pak Molen dalam hati.
Gembong adalah langganan setia Pak Molen. Paling tidak, ia membeli 3 buah molen setiap harinya. Padahal, anak-anak lain makan sebuah saja sudah puas.
"Ayo.... ayo! Masih hangat!" ujar Pak Molen melambai-lambaikan tangan. Anak-anak ingin segera menggigit pisang molen yang masih hangat dan harum itu.
"Nih, uangnya, Pak. Kembali empat ratus," ujar Adi menyodorkan uangnya. "Tunggu, anak-anak! Hari ini, gratis!"
Wauw....mana mungkin, gratis! Anak-anak tak percaya!
"Betul! Hari ini, Bapak memberi kalian gratis pisang molen. Tapi ambilnya satu-satu saja," katanya meyakinkan.
Kabar adanya pisang molen gratis pun tersebar. Tak lama kemudian, di sekitar gerobak dorong Pak Molen tampak anak-anak yang berjubel. Pak Molen masih terus menggoreng sambil sekali-sekali mengingatkan mereka.
"Satu-satu, lo. Biar yang lain kebagian."
Waktu istirahat telah selesai. Suasana di sekitar gerobak Pak Molen kembali sepi. Pak Molen meneruskan kesibukannya. Sementara itu, Bu Wati yang hendak mengajar di kelas 5 memasuki kelas.
"Ibu perhatikan, hari ini semua anak makan molen. Siapa, sih, yang ulang tahun?"
"Pak Molen!" jawab Gembong keras-keras.
Huuuuu....langsung disambut riuh tepuk tangan teman-temannya. Bu Wati ikut tertawa kecil.
"Kamu itu ada-ada saja Mbong," kata Bu Wati.
"Masa, sih, sudah bapak-bapak begitu masih merayakan ulang-tahun."
"lya, betul. Pak Molen tadi juga bilang begitu," ujar anak lain.
"Tapi Ibu tak yakin!"
"Akan saya tanyakan lagi!" ujar Gembong sambil keluar kelas.
Dari jendela, Bu Wati memperhatikan apa yang dilakukan Gembong. Ternyata, Gembong mendekati Pak Molen lagi, lalu mencomot pisang itu sebuah. Beberapa waktu kemudian, ia tampak menanyakan sesuatu pada Pak Molen. Setelah itu, Gembong masuk kelas lagi.
"Maaf, bukan ulang tahun, kok, Bu," kata Gembong, "Tapi..."
"Nah, ya, kan? Sini Mbong! Sekarang kau berdiri di depan kelas dan ceritakan hasil kunjunganmu tadi."
Gembong lalu bercerita, "Pak Molen bukan ulang tahun. Tetapi hari ini ia memang ingin membagi-bagi pisang molen pada kita. Katanya, sih, untuk perpisahan."
"Perpisahan bagaimana?"
"Hari ini adalah hari terakhir ia berdagang molen di sekolah kita. Besok, ia akan pulang kampung, menghadiri wisuda anaknya yang sudah lulus kuliah di Universitas Gajah Mada."
"Astaga! Anaknya menjadi sarjana?" anak-anak heran.
"Kemudian, ia akan berhenti jualan molen. la akan menetap di kampung mengurus kebun dan ternaknya."
"Hah....lantas, kita beli molen pada siapa?" tanya anak-anak.
"Mana aku tahu?" jawab Gembong.
"Wan, gawat! Tanpa Pak Molen kita akan kelaparan. Kalau kelaparan, pelajaran mana bisa lancar!"
"Kau betul, Shinta," kata Bu Wati.
"Bagaimana kalau kita kasih kenang-kenangan buat Pak Molen?"
"Gagasan yang bagus," kata Bu Wati lagi.
"Kita bisa kumpulkan uang jajan kita tadi. Lalu, kita belikan kenang-kenangan buat Pak Molen," usul Widya.
"Kita juga bisa memberi tahu kelas-kelas lain. Siapa tahu mereka tertarik dengan ide kita," usul Gembong.
Setelah uang terkumpul beberapa anak bergegas ke sebuah toko tak jauh dari sekolah. Mereka mencari-cari barang yang pantas buat bingkisan. Semula mereka bingung mau beli apa. Akhirnya disepakati untuk memberikan bingkisan sebuah kain sarung.
Untuk menyerahkan bingkisan itu, anak-anak berkumpul di halaman sekolah. Pak Molen berada di antara mereka. Acara perpisahan dengan Pak Molen berlangsung meriah dan mengharukan. Sewaktu menerima bingkisan itu dari anak-anak, mata Pak Molen tampak berkaca-kaca. Ia terharu dengan apa yang dilakukan anak-anak.
"T-terima-kasih anak-anak... Bapak ikut berdoa....semoga kalian semua sukses. Jangan lupa, rajin sembahyang, rajin belajar, dan berbakti kepada orang tua," pesan Pak Molen.
Mereka menyalami Pak Molen satu per-satu.
"Selamat jalan, Pak Molen," kata mereka sambil melambai-lambaikan tangan.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sigit Wahyu