Sirkus

By Sylvana Toemon, Jumat, 13 April 2018 | 02:00 WIB
Sirkus (Sylvana Toemon)

Meski masih kecil-kecil, Ayu dan Ota termasuk cepat menangkap berita yang ada di luar. Kali ini mereka tahu bahwa akan ada pertunjukan sirkus di kota mereka. Padahal Yuni tak ingin menceritakan tentang sirkus itu kepada mereka. Bukannya mereka akan mendesak ingin menonton, tapi adik-adiknya itu pasti akan mengangan-angankan bisa menonton sirkus itu. Mengangankan sesuatu yang tidak mungkin kadang kadang menyakitkan.

 "Hari ini mulai main, ya!" kata Ayu pagi-pagi, ketika baru bangun.

"Apa?" tanya Yuni.

"Sirkus itu," jawab Ayu.

"Kakak belum dengar?"

"Apa semua orang akan menonton?" Si bungsu yang masih tergolek di tempat tidur bertanya.

"Mungkin saja. Sirkus itu, kan, bagus."

"Kita juga bisa nonton, dong!"

Ota dengan bersemangat bangun dari tempat tidurnya.

"Tidak boleh sembarang!" tukas Ayu.

"Harus beli karcis dulu. Harganya sepuluh ribu."

"Ah, tidak! Tidak sampai sepuluh ribu! Satu karcis harganya dua ribu lima ratus," Yuni membetulkan.

"Tapi tetap saja harga segitu mahal bagi kita."

"Kalau uang dikumpulkan dari sekarang, masa tidak mungkin kita bisa nonton?" tanya Ayu. Katanya, sirkus itu main dua minggu."

"Coba saja Ayu dan Ota menabung!" ujar Yuni. "Kalau tidak cukup untuk menonton, uangnya bisa dibelikan yang lain."

Dalam hati kecilnya, Yuni tak yakin kedua adiknya bisa menabung. Habis, uangnya dapat dari mana? Ayu, yang baru kelas satu SD, dapat uang saku lima puluh rupiah. Itu pun tiap hari dibelikan oleh-oleh sepuiang sekolah untuk Ota. Ota belum sekolah, umurnya baru tiga tahun. Karena itu ia tak diberi uang saku. Tapi, bagaimana kalau ia sendiri yang menabung? Astaga, Yuni terkesiap! la hampir lupa, ia punya tabungan! Jumlahnya mendekati seribu, tapi kan bisa jadi banyak kalau ia berusaha mencari uang tambahan.

Selama ini bila ibu Yuni sedang tidak membuat dagangan, Yuni selalu diminta menunggui warung Nek Ijah. Sebagai upahnya, ia  akan diberi uang seratus rupiah  dan kue-kue. Yuni menolak diberi uang, ia hanya mau menerima kue atau permen untuk oleh-oleh adikadiknya.

Yuni merencanakan sekali-sekali tak akan menolak lagi kalau diberi uang oleh Nek Ijah. Ia bahkan kemudian minta izin Ibu untuk menjaga warung Nek Ijah dari pukul enam sore sampai pukul sembilan malam.

"Warung Nek Ijah tak selalu ramai, aku bisa belajar di situ," katanya kepada Ibu.

Ibu setuju saja, tanpa lupa berpesan, "Tak usahlah sering sering minta imbalan. Nek Ijah, kan, sudah sering memberimu macam-macam!"

Ah, rencana Yuni kan memang begitu! Sementara itu ada pengumuman bahwa karcis sirkus bisa dibeli di sekolah. Harganya jauh lebih murah. Seribu rupiah! Nontonnya nanti bersama-sama pada hari paling akhir pertunjukan sirkus itu. Yuni kegirangan. Pada hari kesepuluh, ia menghitung uang tabungannya. Ayu dan Ota memperhatikan. Ternyata terkumpul seribu delapan ratus lima puluh rupiah.

"Cukup untuk satu karcis." Ota berujar cepat, "Kak Ayu juga punya tabungan."

Ayu mengangguk, lalu . menyerahkan uang sejumlah lima ratus rupiah.

"Ota tidak minta oleh-oleh, jadi uangnya bisa dikumpulkan," jelasnya.

"Cukup untuk dua karcis," kata Yuni kali ini.

Tetapi kemudian ia tertegun. Hanya dua karcis, sedang mereka bertiga! Ota meremas-remas tangannya, begitulah ia kalau tegang dan ketakutan. Anak kecil itu tak mampu membayangkan dirinya tidak diajak menonton. Ayu menatap kakaknya dengan risau. Yuni menghindari tatapan itu dan kebingungan. Bagaimana pun ia harus mengambil keputusan.

Akhirnya, ketika hari itu tiba, Yuni mendandani kedua adiknya serapi mungkin.

"Ayu jaga Ota baik-baik, ya!" pesan Yuni.

"Ota juga tidak boleh nakal!" Ibu menghampirinya.

"Ibu tambah uangmu biar kamu juga bisa nonton," katanya setengah prihatin.

"Tak usah, Bu!" tolak Yuni halus.

"Aku mau ke rumah Nek Ijah. Dia sakit."

"Nanti kamu menyesal tidak dapat nonton."

"Tentu, Bu, kalau gara-gara kita tidak punya uang!" ujar Yuni.

"Tapi, aku, kan, mau merawat Nek Ijah. Dan, yang penting adik adikku bisa menonton."

"Kamu anak yang baik!" Ibu mengelusnya.

"Ya, Kak Yuni baik, deh!" kedua adiknya berseru.

Yuni segera menggamit mereka mengajak berangkat. Di sekolah, ia menitipkan keduanya pada salah seorang teman dekatnya. la sendiri kemudian menyelusuri jalan menuju rurnah Nek Ijah. Langkahnya ringan. La membayangkan Nek Ijah akan gembira menyambut kedatangannya.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.