Lia, Si Penangkap Ular

By Sylvana Toemon, Jumat, 27 April 2018 | 05:00 WIB
Lia Penangkap Ular (Sylvana Toemon)

Nama aslinya manis, Cornelia Edwina. Tapi, kawan-kawan  di kelas V-B yang suka usil memanggilnya: Kor atau lebih sering Kornet. Dan Cornelia yang pendiam mau tak mau menerima julukan itu, walaupun dalam hati ia tidak menyukainya. Habis, kalau dilawan akhirnya malah menimbulkan permusuhan dan nama julukan itupun kemungkinan takkan hilang.

Namun, suatu hari ada peristiwa tak terduga di kelas V-B. Saat itu bel istirahat pertama berbunyi. Pelajaran PMP baru saja usai. Anak-anak bersiap keluar dari kelas. Di mata mereka sudah terbayang makanan, minuman di kantin ataupun antrean di depan WC.

Bowo membuka kancing tasnya untuk menyimpan buku PMP. Namun sebuah benda hitam panjang melesat ke luar dari tas dan menjalar di meja.

"Hiii, ulaaar...!" jerit Mira panik.

la yang pertama melihat dan jeritan itu disusul jeritan histeris anak-anak perempuan lain. Mereka berhamburan lari ke luar kelas sampai-sampai Lia Imut bertabrakan  dengan Yuni Gurun. Lia Imut jatuh. Anak-anak laki-laki tertawa dan Bowo ribut mencari ularnya yang panjangnya 35 cm dan sebesar ibu jari orang dewasa.

"Hitam, hitam, di mana engkau?" seru Bowo.

Beberapa anak laki-laki membantu dan segera si Hitam ditemukan.

"Aku pinjam, ya!" seru Herman dan ia merampas si Hitam dari tangan Bowo. Sambil tertawa-tawa ia keluar kelas dan menghampiri kelompok anak perempuan yang masih berkumpul dan membicarakan tentang ular yang muncul dari tas Bowo.

"Ayo, ayo, siapa mau kenalan?" katanya sambil tertawa-tawa.

Anak-anak perempuan menjerit-jerit ketakutan.

"Buang ular itu ke selokan. Kalau tidak, kulaporkan pada Kepala Sekolah!" ancam Mira sambil  mengambil batu.

"Eeh, jangan. Si Hitam itu mahal harganya, Io!" sergah Bowo.

"Laporkan saja!" tantang Herman sambil senyum nakal.

"Kepala Sekolah tidak akan mendapatkan buktinya. Aku akan menyembunyikannya di tas salah seorang anak perempuan!"

"Hiii, jangan di tasku!" seru beberapa anak dengan ngeri.

Herman dan Bowo tertawa, juga anak laki-laki lainnya.

"Ya, nanti kalau sudah mulai  pelajaran, kutitipkan di pangkuan Leni juga boleh!" kata Herman. Leni duduk bersebelahan dengan Bowo.

"Aku mau pindah duduk. Aku tak mau dekat-dekat Bowo!" kata Leni.

Wajah anak-anak perempuan membayangkan rasa jijik, ngeri, dan cemas. Hanya Cornelia Edwina yang tenang. Tiba-tiba saja Cornelia maju ke depan.

"Herman, Bowo, kalian tak bisa seenaknya menakut-nakuti anak perempuan. Singkirkan ular itu atau kubunuh dia!" seru Cornelia.

Tiba tiba suasana jadi hening dan tegang.

"Si Kornet?" bisik Lia Imut pada Yuni.

"Bunuhlah kalau berani. Kulemparkan dia, ya. Kamu berani?" tantang Herman.

Anak-anak perempuan menyingkir ke kiri dan ke kanan, membagi dalam dua kelompok. Mereka tak mau dekat-dekat si Kornet, yang akan jadi sasaran lemparan ular.

"Silakan!" kata Cornelia dengan tenang .

Siuuut! benda hitam itu melayang dan dengan tangkas  Cornelia menangkapnya. la tidak gentar.

"Ambilkan kantong plastik. Aku akan membawanya ke Ruang Kepala Sekolah sebagai bukti.Kalau kubawa begini, bisa-bisa ibu-ibu guru akan panik. Aku tak mau membunuhnya, karena ini milik Bowo dan Bowo membelinya dengan harga mahal!" Cornelia menjelaskan.

Sari lekas-lekas memberikan kantung plastik yang berisi rotinya.

"Sar, keluarkan dulu rotinya!" Lia Imut mengingatkan.

la membantu Sari mengeluarkan roti dan memberikan kantung plastik pada Lia. Diiringi kawan-kawan sekelas dan anak-anak kelas lain Lia menuju ruang Kepala Sekolah.Anak-anak ramai mempercakapkan peristiwa itu. Hasil laporan cukup memuaskan. Ular itu disimpan di ruang Kepala  Sekolah.

Sesudah pulang sekolah Bowo boleh membawanya pulang ke rumah. Bowo harus menulis hukuman 200 baris: Saya tidak akan membawa ular lagi ke sekolah. Dan Sekolah mengeluarkan pengumuman: Para siswa tidak dibenarkan membawa binatang peliharaan ke sekolah, termasuk ular. Barang siapa melanggar peraturan, akan dikenakan skorsing, bahkan bisa dikeluarkan.

Anak-anak perempuan mengucapkan terima kasih pada Kornet.

"Kornet, kamu, kok, berani sekali. Apa rahasianya?" tanya Mira.

"Akan kuberitahu rahasianya.Tapi, ada satu permintaanku. Aku tak mau dipanggil Kornet. Aku bukan daging dalam kaleng. Panggil saja aku Cornelia atau Lia," jawab Cornelia.

"Baiklah, kami akan memanggilmu Kor.. eh, Lia!" kata Mira.

Anak-anak tertawa, karena hampir saja Mira keseleo lidah.

"Aku berani memegangnya karena aku tahu itu bukan jenis ular berbisa. Pamanku mempunyai toko hewan kesayangan dan banyak ular dijual di sana," Cornelia menjelaskan.

Bel masuk berbunyi. Anak-anak masuk ke kelas dan mereka bisa belajar dengan tenang. Bowo senang karena ularnya tidak dibunuh. Cornelia senang karena ia tidak dipanggil si Kornet lagi.

Namun, keesokan harinya ketika jam pelajaran bahasa Indonesia terjadi sedikit kekacauan. Ibu guru menyuruh Lia membaca pelajaran.

Kemudian Mira bertanya, "Lia yang mana,Bu? Lia Imut atau Lia Penangkap Ular?"

Dan ketika istirahat, anak-anak kelas I SD memandang kagum pada Lia dan berceloteh, "Oh, Kak Lia penangkap ular, yang itu, toh, orangnya?"

Begitulah, satu masalah selesai, masalah lain timbul. Memang tak mudah membuang nama julukan di sekolah, ya. Atau kamu tahu caranya?

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna