Bersyukurlah, Anita!

By Sylvana Toemon, Sabtu, 21 April 2018 | 02:00 WIB
Bersyukurlah Anita (Sylvana Toemon)

Suasana pembagian rapor amat menegangkan bagi Anita. Tidak sabar rasanya menunggu rapor dibagikan. Anita membayangkan bahwa ia akan mendapat rangking 2, atau mungkin rangking 1? Rasanya rangking 1 tidak mungkin.

Sejak awal mereka duduk di kelas V Elisabeth sudah menunjukkan prestasinya yang menonjol. IQ-nya tinggi, ayahnya mempunyai 2 gelar sarjana, ibunya dosen di perguruan tinggi. Elizabeth juga memiliki pengetahuan luas dan gemar membaca buku.

Untuk rangking 3, agaknya akan terjadi rebutan. Pada cawu terakhir ini, Rini, Susan, Mirta, dan Ade seolah-olah berlomba untuk mencapai hasil terbaik. Bahkan Ade mengatakan bahwa ia les pribadi pada 2 orang guru, karena ayah dan ibunya menghendaki ia mendapat rangking 2 atau 3.

"Bapak ucapkan selamat pada  mereka yang berhasil naik ke kelas 6.Yang belum berhasil jangan putus asa. Belajarlah lebih giat lagi. Ada pepatah yang mengatakan bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda," kata Pak Hanafi, wali kelas mereka.

"Nah. sekarang sekolah akan memberikan kenang-kenangan pada 3 murid yang mendapat rangking 1, 2,3. Kalian tahu siapa yang mendapat rangking 1?" tanya Pak Hanafi.

 "Elisabeth. Elisabeth!" serentak anak-anak berseru. Dan memang, Elisabeth yang mendapat rangking 1. la maju ke depan, menerima rapornya dan hadiah.

"Juara kedua ini adalah contoh  keberhasilan bagi anak yang mau bekerja keras. Dulunya anak ini rangking tujuh, tapi ternyata ia berhasil meraih rangking 2. Jadi kalian pun bisa lebih maju.

Kemudian nama Ade dipangggil. Ade maju ke depan. Perasaan Anita kacau balau. Cawu yang lalu Anita yang meraih rangking 2, sekarang malah Ade yang berhasil. Padahal Anita sudah berusaha sebaik-baiknya.

"Hei, Anita, kok melamun. Kamu dipanggil Pak Hanafi. Kamu mendapat rangking 3!" kata Susan yang duduk di belakangnya sambil memukul pelan bahu Anita dengan penggaris. Bagaikan robot Anita maju. Tapi wajahnya tidak ceria. Bahkan airmata sudah menggenang di pelupuk matanya.

Ketika anak-anak pulang dengan gembira, kecuali Nur dan Kezia yang tidak naik kelas, Anita masih diam di kelas. la memandangi rapornya dengan kecewa. la merasa dikalahkan oleh Ade, anak yang semula hanya berada di rangking 7.  Kemudian ia merenung. Ade, anak pengusaha kaya, dipacu untuk berhasil. Disediakan 2 orang guru les. Tadi ia mendengar, karena keberhasilan Ade mendapat rangking 2 ia akan diajak ayah ibunya ke Hongkong pada liburan nanti.

Kemudian Anita merenungkan dirinya. la anak Pak Kasim, penjual bubur ayam di pasar, tinggal di rumah sempit dengan 3 adiknya. Ibunya menerima pesanan lemper atau kroket. Setiap hari Anita membantu ayah dan ibunya. Sore hari mengupas dan mengiris bawang merah. Pagi-pagi sekali sudah harus bangun dan mengiris daun bawang dan cakwe Kadang-kadang membantu Ibu mengulek kentang atau membungkus lemper.Juga mengajari adik bila adiknya kesulitan membuat PR. Bahkan ketika cawu lalu ia berhasil mendapat rangking 2, tidak ada hadiah sama sekali.

Anita terguguk di bangku kelas. Ia melipat tangan dan menundukkan kepala di meja, bertumpu pada lipatan tangannya. la menyesali nasibnya. Kalaulah ia sekaya Ade, tentu ia bisa berhasil meraih rangking 2, bahkan siapa tahu meraih rangking 1.

 Sesudah beberapa lama ia sadar bahwa ia harus pulang ke rumah. Jangan-jangan Ibu cemas menantinya. Suasana di rumah seperti biasa. Ayah sedang mencuci panci besar bekas jualan bubur. Ibu sedang mengupas wortel untuk membuat kroket.

"Pastilah kamu naik kelas. Selamat, ya!" kata Ibu. Kemudian Ibu mencuci tangannya karena ingin melihat rapor Anita.

"Aku bukan juara 2 lagi. Ade yang mendapat rangking 2. la anak orang kaya. Guru lesnya ada 2 dan ayahnya memberikan hadiah tour ke Hongkong!" kata Anita. Nada kecewa nyata dalam suaranya.

"Kamu sudah berusaha sebaik-baiknya. Ibu bangga kamu berhasil mendapat rangking 3. Selain itu kamu pun banyak membantu di rumah!" hibur Ibu.

"Tapi kalau aku punya lebih banyak waktu untuk belajar, aku akan lebih berhasil! Aku tak mau membantu Ibu lagi. Sekarang aku akan melihat lihat buku pelajaran kelas 6 dan mempelajarinya lebih dulu. Aku tak mau lagi dikalahkan Ade," keluh Anita.

Ibu terdiam. Wajahnya sedih. Anita  masuk ke kamar. Sempat ia melirik setumpuk bawang merah di wadah plastik. Menunggu untuk dikupas dan diiris. setelah menghela napas Ibu melanjutkan pekerjaannya mengupas  wortel. Sore itu Anita tidak banyak bicara. Bahkan ketika adiknya Kimo disuruh Ibu mengingatkan Anita untuk mandi, Anita marah-marah.

"Aku bisa mengatur diriku sendiri. Kalau kehabisan air di bak mandi, aku bisa memompanya sendiri," bentak Anita.

Malam hari Anita tidur dengan perasaan kesal. la terbangun dan mendengar lonceng berdentang 12 kali. Tercium harum bawang yang sedang digoreng. Malam sudah larut dan Ibu masih bekerja?

Anita bangun dan pergi ke dapur. la mengambil air minum.

"Tidurmu terganggu, Anita?" tanya Jbu.

"Tidak, kebetulan saja terbangun dan aku merasa haus. Ibu belum tidur?" tanya Anita.

"Sebentar lagi. Kalau sudah selesai menggoreng bawang, Ibu akan tidur. Tidurlah lagi," kata Ibu dengan lembut. Ibu terus menggoreng. Gambaran wajah Ibu jelas terbayang di ruang mata Anita.

Ibu yang kelihatan amat letih, namun tegar. Ibu yang tidak menyalahkan Anita yang ngambek.  Kalaulah Anita mengerjakan tugasnya mengupas dan mengiris bawang seperti biasa, tentu Ibu sudah bisa beristirahat. Hidup terus berjalan sebagaimana adanya. Kalau hari ini bawang tidak diurus, bagaimana besok Ayah bisa berjualan? Kalau tidak berjualan, dari mana dapat uang untuk keperluan makan dan sekolah anak-anak?

Tiba-tiba Anita sadar bahwa ia bukan Ade. la tak bisa membandingkan dirinya dengan orang lain. Justru ia harus bersyukur karena Tuhan masih mengizinkan ia mendapat rangking 3.

Besok sekolah mulai libur. Anita bertekad untuk membantu Ibu lebih baik lagi. Ia menyediakan stoples kosong untuk tempat bawang goreng. Lalu ia mulai mencuci piring kotor bekas makan malam yang belum sempat dicuci Ibu. Bersyukur, Anita. Bersyukurlah kawan, atas segala hal baik yang boleh kau nikmati.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna