Ondel-Ondel dalam Kesenian Betawi

By Putri Puspita, Sabtu, 3 Juni 2017 | 22:50 WIB
Ondel-ondel Betawi. Foto: bintangplus.com (Putri Puspita)

Ondel-ondel dikenal sebagai salah satu kesenian khas Betawi. Bahkan sekarang ini kita bisa melihatnya berkeliling dari satu tempat ke tempat lain.

Penolak Bala

Sebelum dikenal sebagai kesenian khas Betawi, Ondel-ondel adalah wujud penolak bala atau kesialan yang dikenal dengan nama 'Barongan'. Bentuknya yang tinggi-besar rupanya dianggap ampuh sebagai penolak bala.

Oleh karena itu, membuat ondel-ondel tidak bisa sembarangan. Ondel-ondel identik dengan sesajen berisi bubur merah-putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga tujuh macam, serta asap kemenyan. Hal ini tetap dilakukan ketika ondel-ondel sudah selesia sibuat.

Pemain ondel-ondel juga senantiasa melakukan ritual pembakaran kemenyan. ‘Ngukup’ begitulah masyarakat Betawi menyebut ritual tersebut.

Berpasangan

Nama ondel-ondel yang sering kita dengar, ternyata berasal dari kata ‘gondel-gondel’ yang memiliki arti menggantung atau bergandul. Kata tersebut didasari oleh gerakan ondel-ondel yang terlihat berayun ketika berjalan.

Ondel-ondel ada yang laki-laki dan ada yang wanita.  Biasanya, wajah ondel-ondel laki-laki akan dicat dengan warna merah. Tidak hanya itu, matanya pun dibuat melotot, ditambah dengan kumis dan senyuman yang menyeringai, serta mengenakan baju berwarna gelap. Hal ini merupakan simbol semangat atau ada juga yang menyebut simbol kekuatan jahat.

 Ondel-ondel perempuan akan dicat dengan warna putih. Mulutnya pun tersenyum manis dengan riasan gincu, serta menggunakan warna cerah polos atau dengan motif kembang-kembang. Hal ini merupakan simbol kekuatan yang baik

Bentuk ondel-ondel

Ondel-ondel dibuat dengan tinggi 2.5 meter dengan diameter 80 cm. berukuran besar dengan tujuan agar manusia mudah untuk masuk ke dalam badan ondel-ondel dan dapat leluasa menggerakkannya. Para pembuat ondel-ondel sengaja membuat rangkanya dengan anyaman bambu agar mudah dipikul dan digerakkan. Saat dipentaskan, ondel-ondel pun harus tampil berpasangan. Ini ada alasannya tersendiri. Masyarakat Betawi mempercayainya sebagai bentuk keseimbangan antara kekuatan baik dan buruk.