Bapak Si Dono

By Sylvana Toemon, Jumat, 18 Mei 2018 | 02:00 WIB
Bapak Si Dono (Sylvana Toemon)

Hari ini Dono bangun lebih pagi. Biasanya bila ia bangun, bapaknya sudah berangkat kerja. Pagi ini Dono masih bertemu bapaknya.

“Tumben kamu bangun pagi hari ini!” kata Bapak yang bertubuh kurus.

“Temanku Heru akan bawa beberapa buku cerita. Siapa yang datang duluan, dapat giliran pinjam lebih dulu!” Dono menjelaskan. 

“Semalam Paman Saiful telepon. Ia akan datang dari Arab Saudi lusa!” Bapak memberitahu sebelum pamit untuk pergi bekerja.

Dono memperhatikan sosok ayahnya. Ada rasa kecewa dan iri menyelinap di hatinya. Tak ada yang bisa dibanggakan dari Bapak, pikir Dono. Bapak ini cuma supir. Tidak seperti bapak Beni yang suka mengajak Beni main  internet. Atau seperti bapak Tika yang jadi dokter terkenal. Bahkan tidak seperti bapak Agus, yang walaupun sederhana, namun tiap pagi setia  mengajak Agus berolahraga.

Bapak Dono pergi pagi, pulang malam. Lalu mandi, makan, nonton teve sebentar, kemudian tidur. Di malam Minggu, kalau tidak bekerja, ia akan tidur nyenyak, seolah tenaganya sudah habis. Atau sibuk membantu Ibu mengiris bawang, menumbuk kacang atau menggoreng kerupuk. Ibu Dono memang berjualan nasi uduk.

Pikiran Dono beralih pada Paman Saiful, adik Bapak. Ia seorang insinyur mesin yang bekerja di Arab Saudi. Paman Saiful akan datang lusa. Itu artinya Dono akan dapat oleh-oleh. Sayang, di rumah tidak ada telepon. Kalau ada, tentu semalam Dono bisa turut bicara, dan minta arloji pada Paman Saiful. Pasti semalam Bapak menerima telepon di rumah Pak Kusno, tetangga sebelah.

Selama beberapa hari, Dono gelisah memikirkan hadiah apa yang akan dibawa pamannya untuknya. Dono tak sabar menanti kedatangan pamannya. Namun, pada hari kedatangan Paman Saiful, tamu yang ditunggu-tunggu Dono itu belum juga datang.

“Apa Paman Saiful sudah datang, Bu?” tanya Dono.

“Sudah, tapi sekarang ada di rumah Nenek. Kita dijemput jam 6!” ujar Ibu.

“Tapi, Bapak, kan, biasanya pulang jam 7!” tanya Dono.

“Hmm, Ibu tidak tahu nomor telepon rumah majikan Bapak. Tapi, alamatnya ada. Nanti jam 4 kamu ke sana. Beritahukan kabar gembira ini!” kata Ibu.

Sekitar jam 4 Dono berangkat. Kira-kira ia tahu lokasinya. Cukup satu kali naik bis, walapun katanya Bapak biasa jalan kaki pagi dan sore. Rumah majikan Bapak sangat besar, bahkan ada seorang satpam yang menjaga. Dono memperkenalkan diri dan menyatakan maksudnya.

“Oh, kamu Dono! Bapakmu sering cerita tentang kamu!” kata Satpam dan membukakan pintu gembok. Dono masuk ke halaman yang tertata rapi dengan tanaman hias dan bunga-bunga. Di garasi tampak dua mobil mengilap. Dono diajak ke sebuah bangunan di samping rumah besar.

“Kamu tunggu di sini. Bapakmu ada di ruangan itu. Saya akan lapor Nyonya dulu! Sekalian memintakan izin supaya bapakmu bisa pulang sekarang!” kata Satpam, yang kemudian masuk ke bangunan utama.

Iseng-iseng Dono mengintai dari jendela yang diberi teralis. Ia menguak sedikit tirai jendela berwarna gading. Di dalam ruangan ada banyak mainan. Ada seorang anak laki-laki bertubuh besar. Pantasnya ia sudah SMP atau SMA. Namun, anak itu duduk main mobil-mobilan di lantai. Bapak sedang jongkok sambil memegang semangkuk bubur kacang hijau dan menyuapi anak itu. Darah Dono mendidih saat melihat anak itu menaruh mobil-mobilan di atas kepala Bapak dan tertawa terkekeh-kekeh. Sementara Bapak membiarkannya. Dan ketika Bapak menyuapkan bubur, anak itu malah meludahkannya ke lantai. Dengan sabar Bapak mengambil lap, membersihkan lantai.

Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri Dono. Katanya Bapak jadi supir, tapi rupanya Bapak jadi pengasuh anak diabilitas. Ada perasaan marah, sedih dan kasihan di hati Dono.

“Dono, Nyonya bilang bapakmu boleh pulang  sekarang!” kata Satpam, kemudian berbicara dengan Bapak.

Bapak keluar ruangan sambil membawa mangkuk bubur. Ia menyerahkan pada Satpam dan Satpam berkata, “Biar Mbak Ning yang menyuapi!”

Setelah pamit, Bapak dan Dono berjalan bersisian. Dono diam saja.

“Kamu naik apa ke sini, Do?” tanya Bapak. “Naik bus!” jawab Dono singkat.

“Paman Saiful pasti senang melihatmu. Dulu waktu ia terakhir datang kamu masih duduk di TK!” kata Bapak.

“Anak itu keterlaluan. Tadi aku lihat ia menaruh mobil-mobilan kecil di kepala Bapak! Mengapa Bapak tidak cari pekerjaan lain saja?” kata Dono  jengkel.

 “Katanya Bapak jadi supir!” Dono tak dapat menahan rasa ingin tahunya.

“Ya, memang. Tapi, kalau sedang tak ada tugas, Bapak menemani Bambang. Kasihan, ia cacat mental. Walaupun orang tuanya kaya raya, apalah artinya. Lebih beruntung Bapak punya anak seperti kamu!” jawab Bapak.

Sreeep, terasa ada kesejukan di hati Dono. Dan juga rasa haru. Ternyata Bapak bangga padaku, pikir Dono. Selama ini Bapak tak pernah menceritakan isi hatinya.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.