Bentihe di Hutan Lehi Kuihi

By Sylvana Toemon, Selasa, 13 Maret 2018 | 04:00 WIB
Bentihe di Hutan Lehi Kuihi (Sylvana Toemon)

Sungai Mawawo membelah hutan Lehi menjadi dua bagian. Hutan Lehi Kuaneng dan Hutan Lehi Kuihi. Kedua bagian hutan ini sama-sama dihuni oleh para kera. Bedanya, Hutan Lehi Kuaneng punya pemimpin seekor kera tua. Opo Masihure namanya. Ia memimpin rakyat  kera di Lehi Kuaneng dengan bijaksana. Rakyat Lehi Kuaneng pun hidup tertib, sopan dan saling membantu.

Kehidupan di Hutan Lehi Kuihi sebaliknya. Hutan ini tidak mempunyai pemimpin. Kera-kera di situ hidup bebas tanpa peraturan. Tidak ada yang melarang mereka untuk mencuri, memukul, atau berkelahi. Setiap hari Lehi Kuihi gaduh dengan suara kera berkelahi.

Di Lehi Kuaneng, hiduplah seekor kera bernama Bentihe. Ia sangat keras kepala dan suka berkelahi. Suatu hari, ia menemukan pohon pisang yang berbuah lebat.

“Asyiiikk!” serunya kegirangan.  Segera dipanjatnya pohon itu. Tiba-tiba, datanglah seekor kera lain. Makuli namanya. Ia juga terkenal karena nakalnya.

“Hei ! Bagi, dong!” teriaknya dari  bawah pohon. “Enggak! Pisang-pisang ini milikku semua! Tak mungkin kau kubagi!” ledek Bentihe.

“Dasar pelit! Nih, rasakan!” Makuli menarik ekor Bentihe keras-keras.

“Aaauu! Awas, kubalas kau!” ancam Bentihe. la siap-siap membalas. Tetapi Makuli sudah lari. Bergelayut dari satu pohon ke pohon lain.

“Awas!! Kalau bertemu, kuhantam kau!!” teriak Bentihe lagi. Opo Masihure kebetulan lewat di situ. la menggeleng- gelengkan kepalanya. Ditepuknya pundak Bentihe sambil memberi nasehat,

“Membalas kejahatan dengan kejahatan, tidak ada gunanya! Itu hanya akan memperpanjang lingkaran dendam! Kau harus berusaha memutuskan lingkaran itu secepat mungkin! Sebelum merambat dan memakan banyak korban!”

Bentihe tidak mengerti maksud Opo Masihure.

“Ah, pokoknya Makuli harus  kubalas!” ujarnya di dalam hati.

Rupanya Bentihe bukan hanya mengancam. Keesokan harinya, ia menghadang Makuli di tengah jalan. Tanpa banyak bicara, buk! Ditinjunya Makuli. Makuli langsung kesal.

“Bukk! Bukk!” Dibalasnya Bentihe. Akhirnya mereka berkelahi berguling-guling di tanah.

“Bentihe dan Makuli berkelahi! Bentihe dan Makuli berkelahi!” teriak kera-kera yang kebetulan melihat mereka. 

Beberapa kera segera memanggil orang tua Bentihe dan Makuli . Bentihe dan Makuli akhirnya dihukum orang tua masing-masing. Tidak boleh bermain selama seminggu!

Di rumah, Bentihe menggerutu tak habis-habisnya. la memandang kesal ke luar jendela. Tampak teman-temannya sedang asik bermain. Sedangkan ia tidak boleh ke mana-mana.

“Huh! Yang salah, kan, Makuli!  Mengapa aku juga ikut dihukum?!” gerutu Bentihe.

“Aku akan pindah ke Hutan Lehi Kuihi saja! Di sana, aku bisa berbuat seenaknya! Tidak ada peraturan, tidak ada hukuman!” Bentihe memutuskan di dalam hati. Diam-diam, ia meninggalkan rumah.

Tak lama kemudian, tibalah ia di tepi sungai Mawawo. Diloncatinya batu-batu besar di sungai itu. Bentihe pun sampai di seberang sungai, di tepi Hutan Lehi Kuihi.

Ketika akan memasuki hutan itu, hatinya agak ragu. Ditengoknya kembali Hutan Lehi Kuaneng di seberang sungai. Tiba-tiba, terdengar suara ribut, “Yak, pukul! Tonjok! Terus! Terus!”

Rupanya ada kera-kera yang sedang berkelahi. Keraguan di hati Bentihe segera hilang.

“Aku memang lebih cocok tinggal di sini!” gumamnya riang.

 

Bentihe segera bergelayut di akar pohon, masuk ke Hutan Lehi Kuihi. Di tengah Hutan Lehi Kuihi tampak dua ekor kera sedang berkelahi. Kera-kera lainnya menonton sambil bergelayut di akar pohon. Mereka berteriak-teriak memberi semangat.

“Wah, enaknya! Di sini, tidak ada larangan berkelahi!” pikir Bentihe sambil ikut berteriak-teriak.

Tiba-tiba... dilihatnya Makuli di  antara penonton! Rupanya Makuli-pun pindah ke Lehi Kuihi!

“Hah, ini kesempatan baik! Akan kuhajar si Makuli!” batin Bentihe.Segera ia berayun mendekati Makuli,

“Makuli! Ayo, kita selesaikan persoalan kita!” teriaknya.

Makuli terkejut mendengar suara Bentihe. Namun, langsung disambutnya tantangan itu, “Ayo! Memangnya aku takut!” Kedua kera itu meluncur turun dari pohon, lalu berkelahi.

“Bukkll Brakkll”  Sementara itu, kedua kera yang tadi berkelahi sudah pingsan. Kera-kera penonton kini beralih menonton perkelahian Bentihe dan Makuli.

“Pukuull!! Hantam, hantam!” teriak mereka memberi semangat. Bentihe makin bersemangat.

“BUKK!” Dihantamnya Makuli sekuat tenaga. Makuli jatuh pingsan! Kera-kera penonton langsung bersorak gembira.

Bentihe dibopong dan dielu-elukan. Bentihe pun melambai-lambaikan tangannya dengan bangga. Makuli tidak menerima kekalahannya. Esoknya, ia mengumpulkan teman-temannya yang bertubuh besar. Bergerombol mereka menghampiri pohon tempat Bentihe tinggal. Bentihe dikeroyok sampai babak belur!

Dendam di hati Bentihe makin bertumpuk. la juga tak mau kalah! Segera dikumpulkannya kera Lehi Kuihi yang mau membantunya berkelahi.Tak lama kemudian...

“Brukk! Brakkll Bukll”

Hutan Lehi Kuihi menjadi hiruk-pikuk. Bentihe dan gerombolannya bertempur melawan Makuli dan gerombolannya. Mereka berkelahi habis-habisan.

Sejam kemudian... semua kera terkapar pingsan!

“Ukkhh!” Ketika sadar dari  pingsannya, Bentihe memandang ke sekeliling...

“Ohhh!” la sangat terkejut. Teman- temannya dan teman-teman Makuli tampak bergelimpangan di sekitarnya. Ada yang masih pingsan, ada yang sedang mengerang kesakitan.

Tiba-tiba Bentihe teringat kata-kata Opo Masihure, “Membalas kejahatan dengan kejahatan, tidak ada gunanya! Itu hanya akan memperpanjang lingkaran dendam! Kau harus memutuskan lingkaran itu secepat mungkin! Sebelum merambat dan memakan banyak korban!” Kini Bentihe mengerti maksud kata-kata itu.

“Makuli memukulku, aku memukul Makuli. Makuli dan gerombolannya memukulku, aku dan gerombolanku memukul Makuli . Tidak ada yang mau mengalah. Perkelahian tak putus-putusnya sampai memakan banyak korban,” desah Bentihe sedih.

Sementara itu, Makuli tampak baru sadar dari pingsannya. Dengan susah payah, ia berusaha berdiri. Ketika melihat Bentihe, amarah Makuli kembali bangkit,“Bentihe, kita lanjutkan pertempuran ini besok!” tantangnya.

Akan tetapi, Bentihe tidak menjawab tantangan itu. la terdiam sejenak, lalu berkata lirih, “Sudahlah! Aku mengaku kalah! Aku minta maaf. Aku tidak mau berkelahi lagi. Tidak ada untungnya sama sekali! Coba kau lihat! Kasihan, teman-teman kita ikut jadi korban!”

Makuli terkejut mendengar kata- kata Bentihe Ia segera memandang ke sekeliling. Teman-temannya bergelimpangan di tanah. Mereka tampak menyedihkan sekali.

“Ini gara-gara aku!” gumam Makuli  dengan rasa bersalah.

Ia dan Bentihe akhirnya berpelukan berdamai. Begitu juga dengan teman-teman mereka.

“Membalas dendam itu ternyata melelahkan, karena membuat persoalan makin panjang!” ujar Bentihe. Makuli dan kera-kera lainnya mengangguk membenarkan.

“Peraturan memang kadang-kadang mengesalkan. Tapi itu membuat kita lebih tertib!” ujar Bentihe lagi.

Makuli dan kera-kera lainnya kembali mengangguk membenarkan.

“Lebih baik kita kembali ke Lehi Kuaneng!” usul Bentihe. Makuli dan kera-kera lainnya mengangguk setuju.

“Heh! Jangan cuma mengangguk! Ayo cepat!” teriak Bentihe sambil berayun di pohon.

Teman-temannya segera mengikutinya dengan riang.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Vanda Parengkuan