Anak Krakatau Meletus

By Sylvana Toemon, Minggu, 6 Mei 2018 | 02:00 WIB
Gunung Anak Krakatau meletus (Sylvana Toemon)

 “Anak Krakatau meletus! Anak Krakatau meletus! Anak Krakatau meletus!” seru Andra sambil berlari menyusuri pulau.

Segera saja teman-temannya, ibu-ibu dan bapak-bapak penduduk setempat berlari keluar rumah. Ada yang langsung sigap berlari mengikuti jalur evakuasi.  Ada yang ingat membawa serta tas berisi benda-benda yang diperlukan saat keadaan darurat. Pokoknya jalan kecil di Pulau Sebesi itu langsung ramai. Saat sudah ramai, Andra malah tertawa keras.

“Wahahaha! Tertipu kalian! Aku bohong, deng. Krakatau belum mau meletus, kok,” ujarnya cuek. Ucapan itu jelas membuat mereka yang tertipu itu kesal.

Seorang bapak maju dan menasihatinya,  “Jangan main-main, Dra. Anak Krakatau meletus itu perkara yang serius.”

“Iya. Jangan sampai nanti saat meletus betulan, orang-orang tidak percaya lagi pada peringatanmu dan akhirnya tidak mengungsi. Kan, bisa gawat,” sambung seorang ibu.

Namun, lagi-lagi Andra hanya tertawa ringan. Menurutnya lucu sekali bahwa ia bisa membuat semua orang panik hanya dengan berteriak, “Anak Krakatau meletus!”

Tidak heran, sih. Pulau Sebesi tempat tinggalnya memang dekat sekali dengan Anak Krakatau. Saking dekatnya, kalau Anak Krakatau sampai meletus, Pulau Sebesi-lah yang akan duluan tenggelam.

Apalagi baru-baru ini Anak Krakatau menunjukkan aktivitas vulkanik. Ada semburan asap, batu, dan pasir. Makanya, penduduk Pulau Sebesi sudah menyiapkan jalur evakuasi. Barang-barang yang dibutuhkan sudah dimasukkan di dalam satu tas. Di dalam hati, semua menyimpan rasa cemas dan tegang, takut Anak Krakatau meletus dahsyat. Jadi, bisa kamu bayangkan, dong, betapa paniknya mereka.

Celakanya, kenakalan Andra ini malah diulang oleh temannya, Sato. Pada suatu sore yang berangin keras, Sato berlari keliling pulau sambil berteriak, “Tsunami! Tsunami!”

Semua orang keluar rumah dengan ketakutan, langsung berlari menuju tempat yang tinggi, termasuk Andra! Wah, Sato tertawa terpingkal-pingkal melihat Andra ikut tertipu tipuannya sendiri. Andra jadi kesal. Begitu juga para penduduk yang lain. Sambil menggerutu mereka kembali ke rumah masing-masing.

Pada suatu sore, saat Andra dan Sato sedang bermain di lapangan, Budi memanggil-manggil mereka, mengajak mereka masuk ke rumah. Budi bilang sebentar lagi angin puting beliung akan datang. Andra dan Sato berpandangan. Angin memang agak keras sore itu. Namun keduanya ragu. Jangan-jangan Budi sedang membohongi mereka. Mereka berdua memutuskan untuk mengabaikan panggilan itu dan terus bermain bola.

Namun, tiba-tiba glegaaaarrr! Petir menyambar. Cuaca semakin tidak bersahabat. Tiba-tiba saja sore itu berubah menjadi sangat gelap, tanpa matahari. Awan tebal bergulung-gulung, ombak begitu tinggi mencecah pantai, dan oh… angin begitu keras menghempaskan tubuh Andra dan Sato. Celakanya, rumah mereka bertentangan dengan arah angin. Terpaksa mereka bersusah payah menembus angin. Sulitnya bukan main! Tubuh Sato yang kurus seperti hendak terlempar angin. Andra memegangi tangan Sato yang dingin sambil berdoa. Ia takut bukan main. Angin menderu begitu keras sampai ia tidak bisa mendengar suaranya sendiri.

Untung beberapa penduduk bersedia keluar rumah dan menolong mereka. Dalam hati, Andra dan Sato menyesali perbuatan mereka. Bermain-main dengan peringatan bencana alam ternyata amat merugikan. Malah jadi senjata makan tuan!

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.