Upik mau menari balet di sekolah Bobo. Dia bersemangat sekali untuk berlatih. “Lihat, aku nanti akan memakai baju baletku yang ini,” pamer Upik pada Coreng.
Wow, gaya Upik lincah sekali, menari-nari di halaman. Sambil membawa sapu dan memakai sepatu Emak, Upik bergaya seperti Cinderella. “Ini tarian Cinderella dengan sepatu kacanya,” cerita Upik pada Bobo.
Di dapur, Upik masih menari-nari sambil membawa kemoceng. “Emak, lihat tarianku!” seru Upik. Emak yang sedang sibuk memasak, menoleh memperhatikan Upik. “Cantik sekali!” puji Emak. Upik tersenyum bangga.
Sampai malam, Upik masih menari-nari di ruang keluarga. “Istirahat dulu, Pik, nanti kamu kecapekan,” kata Emak. “Tapi, aku harus berlatih terus, Mak, biar bisa bagus di panggung,” bantah Upik.
Setiap hari Upik berlatih. Bahkan, sampai lupa makan. Suatu pagi, Upik tidak bisa bangun dari tempat tidur. “Mak, aku pusing,” keluhnya. Emak memegang dahi Upik. “Kamu pasti kecapekan.” Upik terisak, “Besok aku tidak bisa menari.”
Acara di sekolah Bobo meriah sekali. Sayang, Upik tidak jadi menari balet karena sedang sakit. Diam-diam, Bobo juga merasa sedih. “Aku harus melakukan sesuatu buat Upik.”
Setelah sembuh, Upik bisa menari lagi. “Tapi aku tetap tidak bisa pentas,” kata Upik dengan sedih. Bobo menghiburnya. “Tenang, Pik! Pakai saja baju baletmu, lalu menarilah di kebun. Aku akan memotretmu.”
Berhari-hari Upik merasa sedih. Suatu pagi, Upik berseru kaget, “Bobo, lihat! Fotoku ada di majalah! Kamu yang mengirimkannya, ya?” Bobo mengangguk sambil tertawa. “Ah, akhirnya aku bisa membuat Upik gembira lagi.”
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Vero, Ilustrasi: Rudi