Hari-hari berikutnya, Datuk, Runi, dan Runi makin sering terlihat di halaman. Mereka memantau pembangunan jalan setapak di halaman mereka. Runi memastikan para pekerja itu tidak merusak pohon-pohon buah kesukaannya. Beberapa hari kemudian, jalan setapak itu selesai. Di tepinya ada beberapa lampu sebagai penerang saat malam.
“Sayang sekali hari ini hujan. Aku sudah tak sabar ingin bermain di luar,” ucap Runi.
“Iya. Aku juga sudah tak sabar,” sahut Rudi.
Sepanjang sore itu, Runi dan Rudi sibuk mempersiapkan perlengkapan sekolah dan mengerjakan tugas. Kedua anak itu sama-sama tak sabar menantikan hujan berhenti. Namun hujan masih tetap turun sampai malam menjelang.
“Runi, dengar. Hujan sudah berhenti. Kita keluar, yuk,” ajak Rudi.
“Ayo!” jawab Runi bersemangat. “Aku mau main sepatu roda di halaman,” sambungnya lagi.
“Hati-hati, licin, lo. Kan, habis hujan,” ujar Rudi mengingatkan.
Runi mengabaikan peringatan saudara kembarnya itu. Ia tetap memakai sepatu rodanya. Sementara Rudi lebih dulu melangkah ke halaman. Rudi melangkah pelan dengan penuh kekaguman. Halaman itu terlihat berbeda setelah ada jalan setapak dan lampu-lampu bercahaya kuning.
Srrr… Srrr…. Runi meluncur dengan sepatu rodanya. Tawa bahagianya terdengar sampai jauh. Tiba-tiba tawa itu berganti dengan jeritan.
“Aaaaa! Apa ituuu?! Ada raksasaaa!!!” teriak Runi.
Rudi segera menghampiri saudara kembarnya itu. Rudi datang di saat yang tepat. Saat itu Runi hampir saja tergelincir tetapi Rudi berhasil menangkapnya.
“Ada raksasa di situ,” kata Runi gugup. Jarinya menunjuk ke arah tembok dengan gemetar.