Keesokan paginya, mimpi itu terlupakan. Raina dan Hora asyik bermain dan mengunjungi banyak tempat. Namun, sriiing… berulang kali Raina merasa ada bayangan jepit rambut merah yang terus menghantuinya. Duh, Raina takuuut sekali. Saat ia tertidur malam harinya, lagi-lagi Raina bermimpi buruk soal jepit rambut yang merintih-rintih minta dikembalikan.
* * *
Pada malam terakhirnya di Sumba, diam-diam Raina bersyukur ia akan segera pulang. Sumba memang cantik, tetapi kalau dihantui jepit rambut… Hiii… seram!
Setelah menuliskan catatan hari terakhirnya di Sumba, Raina sibuk mengemasi barangnya untuk pulang ke Jakarta. Anehnya, Hora tampak gelisah.
“Raina, eengg… emmm…,” dari tadi Hora seperti mau bicara sesuatu tetapi tidak jadi.
“Kenapa, sih?” tanya Raina sambil terus berkemas.
“Itu… pena biruku yang kamu pinjam, ikut terkemas masuk tas ransel kamu,” ucap Hora sambil menunduk.
Raina terkejut mendengarnya. Segera diambilnya pena biru itu.
“O iya aku lupa! Maaf, yaa, ini aku kembalikan,” kata Raina sambil menyodorkan kembali pena itu. Tepat saat itu, Raina teringat rintih jepit rambut raksasa dalam mimpinya. Jepit rambut itu minta dikembalikan. Hwaaaah… Raina baru ingat! Jepit rambut itu milik teman sekelasnya Keysha yang ia pinjam sejak awal tahun ajaran! Ini memang satu kebiasaan buruk Raina. Ia suka lupa mengembalikan barang-barang teman yang ia pinjam. Akhirnya barang-barang itu malah seperti sudah menjadi miliknya sendiri!
Malam itu juga, Raina minta tolong diantarkan ke kuburan kuno itu untuk mengambil kembali jepit rambut tersebut. Mungkin roh nenek moyang Sumba marah karena ia memberi hadiah barang pinjaman atau mungkin mereka cuma ingin memberi pelajaran kepada Raina atau semua hanya kebetulan. Yang pasti, sejak itu Raina berjanji lebih berhati-hati kalau meminjam barang.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.