“Hei, Dik!” sergah bapak itu.
Dito tak menoleh lagi. Ia berlari menyusuri jalan sepi itu sekuat tenaga. Ia mendengar bunyi ketukan tongkat si bapak mengikutinya.
Dito berlari semakin kencang sampai akhirnya ia tak lagi mendengar bunyi tuk-tuk-tuk itu. Dito berhenti berlari, berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
“Kenapa, Dik?” tanya seorang ibu bergaun merah muda. Ada tahi lalat di dekat matanya yang bersinar ramah. Dito menanyakan alamat rumah Kakek. Dengan petunjuk ibu itu, Dito berhasil menemukan rumah Kakek.
Akan tetapi, tepat di depan rumah Kakek, Dito melihat bapak berkaki buntung itu berdiri seperti menunggunya. Seringainya mengerikan.
“Hwaaa!” Dito memekik lagi. Ia segera berbalik badan dan BUK! Ia menabrak Kakek.
“Dito! Dari mana saja?” Kakek bertanya cemas.
“Kakeeek, itu ada hantu kaki buntung, penumpang kapal pesiar Kakek. Maaf yaa… aku kemarin main bola dan menjatuhkan replika kapal pesiar Kakek. Tiangnya patah dua dan ada satu penumpang yang kakinya hilang satu, jadi buntung. Terus hari ini, ada bapak-bapak kaki buntung mengejar-ngejar aku,” tangis Dito sambil melirik bapak berkaki buntung yang masih berdiri di depan pagar rumah Kakek.
Seringai bapak itu kini makin lebar dan akhirnya berubah menjadi tawa lepas. Kakek di depan Dito juga tertawa. Rupanya, bapak berkaki buntung itu adalah teman Kakek. Namanya Pak Frans. Ia sering naik kapal pesiar Kakek dan menjadi salah satu model untuk replika kapal pesiar Kakek. Kakinya memang buntung!
“Dulu, aku sakit dan kakiku harus diamputasi. Aku sedih sekali, tetapi kakekmu selalu menghiburku. Dia sudah seperti ayah bagiku,” cerita Pak Frans. Saat kejadian kapal pesiar itu tenggelam, Pak Frans kebetulan sedang tidak ikut. Jadi, ia selamat.
Selama ini, Pak Frans tinggal di luar negeri dan baru kali ini kembali ke Indonesia. Kakek banyak bercerita tentang Dito dan mengundang Pak Frans ke rumah untuk bertemu Dito.
“Kebetulan saja, di jalan aku melihat kamu. Aku pikir kamu mirip benar dengan Dito yang diceritakan kakekmu. Tapi aku tak yakin. Kuikuti kamu. Eh, kamu malah nyasar dan saat kupanggil malah lari. Ternyata karena kamu pikir aku hantu, tho? Ha ha ha!” Pak Frans tertawa lagi. Kakek juga tertawa. Dito meringis saja.
Dalam hati, Dito menyesal. Coba ia lebih memperhatikan replika Kakek. Kalau ia mau mendengarkan cerita Kakek soal replika itu, tentu, ia tahu kalau ada replika yang memang berkaki buntung. Dan ia tidak perlu kalang kabut mencari potongan kakinya!
Tak lama kemudian, Kakek dan Pak Frans duduk-duduk mengamati replika Kakek. Bernostalgia akan masa mereka naik kapal bersama. Kali ini, Dito ikut mendengarkan kisah-kisah mereka.
“Yang ini, namanya Sutina. Cantik sekali. Banyak awak kapal yang menyukainya,” cerita Kakek. “Sayang, ia menjadi salah satu penumpang yang hilang saat kapal ini tenggelam.” Kakek menunjuk satu replika wanita cantik bergaun merah jambu dengan tahi lalat di bawah matanya.
Dada Dito kembali berdebar melihatnya. Gaun merah jambu, wajah cantik dan ramah dengan tahi lalat di bagian bawah mata? Bukankah itu ibu yang menyapa dan memberitahukannya jalan ke rumah Kakek saat tadi ia tersesat?
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.