Bedhaya Ketawang, Tari Sakral yang Hanya Ditampilkan Saat Penobatan Raja

By Cirana Merisa, Kamis, 7 Desember 2017 | 04:35 WIB
Tarian ini hanya ditampilkan saat penobatan raja di Kasunanan Surakarta. (Cirana Merisa)

Seperti Yogyakarta, Solo atau Surakarta juga memiliki kesultanan atau kasunanan yang dipimpin oleh seorang sunan. Kasunanan Surakarta ini menurunkan tarian tradisional yang bernama Tari Bedhaya Ketawang.

Sejarah Tarian

Dulu, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta merupakan satu kerajaan, yaitu Kesultanan Mataram. Antara tahun 1613 sampai 1645, Sultan Agung memerintah Kesultanan Mataram.

Baca juga: Mengenal Tari Kipas Pakarena, Yuk!

Suatu hari, Sultan Agung sedang melakukan ritual semedi. Saat itu, Sultan Agung mendengar suara senandung dari arah langit. Sultan Agung pun terkesima mendengarnya dan akhirnya mendapat insiprasi untuk menciptakan tarian yang diberi nama Bedhaya Ketawang.

Pembagian Wilayah dan Warisan Budaya

Pada tahun 1755, disetujui lah Perjanjian Giyanti yang berisi bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua, yaitu wilayah timur dan wilayah barat. Wilayah timur diserahkan kepada pewaris tahta Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan berada di Surakarta. Sementara wilayah timur diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang sekaligus diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I dan berada di Yogyakarta.

Baca juga: Tari Merak, Tari Kreasi Baru dari Jawa Barat

Di dalam Perjanjian Giyanti, selain pembagian wilayah, disepakati juga pembagian warisan kebudayaan, termasuk Tari Bedhaya Ketawang ini akhirnya diberikan kepada Kasunanan Surakarta.

Ditampilkan Saat Penobatan Raja

Tarian ini merupakan tarian kebesaran dan sakral yang hanya ditampilkan saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan tahta raja di Kasunanan Surakarta. Nama Bedhaya Ketawang ini diambil dari kata bedhaya yang artinya penari perempuan di istana dan ketawang yang artinya langit, dihubungkan dengan sesuatu yang tinggi dan mulia.

Baca juga: Tari Gambyong, Tarian Tradisional dari Surakarta

Kanjeng Ratu Kidul

Tarian ini menggambarkan hubungan kasih sayang antara Raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul. Tari ini dimainkan oleh 9 penari perempuan. Konon katanya, setiap kali tarian ini ditampilkan, Kanjeng Ratu Kidul akan datang dan ikut menari sebagai penari ke-10.

Karena tarian ini bersifat sakral, maka penarinya juga harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya para penari merupakan perempuan yang belum menikah. Para penari juga harus benar-benar menguasai gerakan tarian karena masyarakat percaya Kanjeng Ratu Kidul juga akan mendatangi para penari jika gerakannya masih salah pada saat latihan.