Berkunjung ke Kampung Adat Wologai di Flores, Yuk!

By Cirana Merisa, Sabtu, 9 Desember 2017 | 06:35 WIB
Kampung Adat Wologai diperkirakan berusia 800 tahun. (Cirana Merisa)

Apa yang pertama kali terlintas di otak saat mendengar kata “Flores”? Pulau Komodo, atau Gunung dan Danau Kelimutu, atau atau surganya snorkeling dan diving? Nah, ternyata di Flores juga ada kampung adat, lo.

Kampung Adat Wologai

Kalau teman-teman pergi ke Flores, jangan lupa mampir ke Kampung Adat Wologai. Terletak sekitar 37 kilometer ke arah timur kota Ende, Wologai merupakan salah satu kampung adat yang masih ada di Flores. Kampung ini diperkirakan berusia 800 tahun, lo. Wah, sudah lama sekali, ya!

Baca juga: Kampung yang Go Green

Rumah Adat

Di kampung itu terdapat 18 rumah adat, 5 rumah suku, dan 1 rumah besar. Rumah adat digunakan untuk tempat tingal. Rumah Suku digunakan sebagai tempat penyimpanan benda pusaka. Sedangkan rumah besar digunakan untuk melakukan ritual adat. Semua rumahnya berjenis rumah panggung.

Rumah adat ini dibangun melingkar dan memiliki 3 tingkat. Semakin ke atas maka semakin sempit karena rumah ini berbentuk seperti kerucut. Rumah ini terbuat dari kayu yang didirikan di atas 16 batu ceper untuk dijadikan tiang dasar dan atapnya terbuat dari ijuk. Biasanya panjang rumahnya mencapai 7  meter dengan lebar 5 meter dan tinggi 4 meter.

Baca juga: Kampung Bena, Perkampungan Adat Tertua di Nusa Tenggara Timur

Pelataran untuk Ritual

Rumah-rumah adat di Wologai dibangun mengelilingi Tubu Kanga, pelataran untuk ritual. Di tengah-tengah pelataran ini, terdapat batu berbentuk ceper yang dipagari dengan bambu. Batu ini digunakan untuk meletakkan persembahan bagi leluhur. Batu ini juga tidak boleh disentuh oleh orang yang bukan penduduk asli. Konon katanya, cuaca buruk atau badai akan datang kalau pengunjung menyentuh batu itu, lo!

Ritual Besar

Di Kampung Adat Wologai ini ada 2 ritual besar, yaitu ritual panen yang disebut Keti Uta dan ritual tumbuk padi yang disebut Ta’u Nggua. Ritual Keti Utai dilakukan pada bulan April saat masa panen padi, jagung, dan kacang-kacangan.

Sedangkan Ta’u Nggua dilakukan pada bulan September. Selama 7 hari, warga tidak menjalankan aktivitasnya, sama seperti umat Hindu yang sedang melakukan upacara Nyepi. Puncak ritual Ta’u Nggua adalah Gawi, yaitu masyarakat menari bersama di sekeliling Tubu Kanga.