Di atas pohon asam tinggallah Opi Tupai dan Daci Landak di sebuah rumah kayu yang mungil. Mereka senang sekali tinggal di pohon itu karena memiliki banyak teman dan udaranya segar.
“Pi, sebentar lagi musim hujan. Uuh, aku paling benci kalau sudah musim hujan. Tanah becek dan burung-burung tak mau keluar dari sarangnya. Ini berarti tidak ada kicauan Burung Nuri, parkit, Cicakrawa, dan Srigunting,” ujar Daci mengutarakan kekesalannya.
“Iya, aku juga kesal sekali. Sepanjang hari kita hanya bisa bermain di dalam sarang. Huuh, menyebalkan,” sahut Deci.
Opi dan Deci sedang kesal membayangkan musim hujan yang sebentar lagi datang. Alam yang hijau akan basah kuyup disiram hujan, bahkan kadang-kadang tergenang air. Banjir di mana-mana. Sahabat-sahabat mereka seperti kambing dan ayam akan berdiam di kandang saja. Mereka tak tampak berkejar-kejaran di padang rumput. Benar-benar bagaikan binatang hukuman.
“Pi, tapi sebenarnya hujan itu penting juga, lo! Tanpa hujan kit atidak akan mendapatkan air. Pak Tani pun akan kebingingan karena tnah mereka kekurangan air,” kata Daci memecahkan kesunyian.
“Ci, aku ada akal. Rumah, kita sudah banyak yang rusak. Jika hujan turun, pasti akan bocor di sana-sini. Bagaimana kalau kita membuat rumah baru yang lebih besar. Nah, nanti kita undang teman-teman untuk tinggal di sini,” usul Opi.
“Setuju, Pi! Wah, kalau teman-teman ada di sini, pasti rmai, ya,” kat Opi.
“Kalau begitu besok kita mulai membangun, deh. Biar cepat selesai.”
Keesokan harinya, mereka mulai emmbangun rumah baru. Opi mengumpulkan kayu, sedangkan Daci menyusunnya.
“Toookkk tok!” terdengar suara palu.
“Halo, Opi, Daci! Tampaknya kalian sibuk sekali. Sedang buat apa, sih?” tanya Burung Nuri dan Burung Parkit.
“Kami sedang membuat rumah baru. Rumah ini besar sekali. Dan setelah selesai nanti, kami akan mengundang teman-teman tinggal di sini. Jadi kalian tidak akan kehujanan dan kedingingan,” ujar Opi dan Daci.