Bobo.id - Pernahkah kamu melihat katak bertanduk? Katak bertanduk punya nama ilmiah Gastrotheca cornuta, teman-teman.
Para ahli biologi mengira kalau katak bertanduk ini sudah punah, lo.
Soalnya, katak ini tidak terlihat oleh siapapun selama lebih dari sepuluh tahun, tepatnya dari tahun 2005.
Baca Juga : Wah, Ada Salamander Baru yang Kepalanya Seperti Ditumbuhi Pohon!
Namun, katak bertanduk ini kembali terlihat di hutan di Ekuador. Wah, senangnya!
Para ilmuwan yang menemukannya sedang berjalan di sebuah hutan, kemudian mereka mendengar suara katak yang kurang familiar.
Rupanya suara tersebut asalnya dari seekor katak bertanduk yang sedang bertengger di sebuah pohon.
O ya, katak ini tidak benar-benar punya "tanduk" kok.
Kulit di bagian matanya tampak seperti tanduk yang mencuat di atas matanya.
Bobo punya tebakan, nih, biasanya katak berkembang biak dengan cara apa?
Tahapnya pasti dari telur, kemudian jadi kecebong, kecebong berkaki, katak muda, dan katak dewasa.
Baca Juga : 8 Tanaman Ini Suka Makan Hewan, Serangga Hingga Katak Semua Dimakan
Kalau katak bertanduk beda, lo. Katak bertanduk terkenal karena cara berkembang biaknya yang mirip dengan kanguru.
Yap, telur katak bertanduk berkembang di dalam kantung yang ada di punggung ibunya.
Kemudian saat menetas, ia tidak menjadi kecebong, melainkan langsung menjadi katak kecil. Hihi..
Makanya oleh ilmuwan, katak bertanduk sering dipanggil katak-marsupial.
Baca Juga : Selain Memiliki Kantung di Perutnya, Ini 7 Fakta Unik Kanguru
Di Ekuador, masih ada sekitar lima spesies katak-marsupial lainnya, namun sudah tidak terlihat seama tiga puluh tahun lamanya.
Katak bertanduk ini jumlahnya sangat sedikit dan kondisinya sekarang dalam bahaya.
Penyebab utamanya adalah pembukaan lahan yang mengakibatkan hutan tempat tinggal katak bertanduk jadi harus ditebangi pohonnya.
Makanya, ilmuwan terus melakukan pencarian hewan langka dan berusaha agar penebangan hutan untuk lahan tidak terus terjadi di Ekuador.
Baca Juga : Warna Terang Ternyata Bisa Melindungi Hewan dari Pemangsa
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Avisena Ashari |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR