Bobo.id - Beberapa hewan ada yang suka memakan lagi kotorannya. Kelinci salah satunya.
Perilaku memakan kembali kotoran ini namanya coprophagia, teman-teman.
Copropaghia memang lumrah terjadi pada binatang. Tapi mengapa mereka melakukannya, ya?
Pertama-tama, kita cari tahu dulu, kotoran seperti apa yang dimakan kembali oleh hewan seperti kelinci.
Baca Juga : Kelinci Bisa Mengetahui Keberadaan Predator Hanya dari Kotorannya, lo!
Kelinci termasuk ke dalam kelompok hewan lagomorphs. Hewan ini memproduksi kotoran yang disebut caecotrophy teman-teman.
Caecotrophy merupakan kotoran yang lebih lembut.
Inilah yang dimakan lagi oleh kelinci. Jadi, ia tidak memakan kotorannya yang keras.
Kelinci memiliki sistem pencernaan yang membuat penyerapan nutrisi makanan ada di perut dan usus kecilnya.
Nah, kotoran lembut yang dihasilkannya ini mengandung nutrisi tambahan, untuk mencukupi kebutuhan gizinya.
Kotoran lembut ini justru membantu menyehatkan sistem pencernaannya, teman-teman.
Kelinci mengeluarkan kotoran lembut ini di malam hari dan seringkali langsung memakannya.
Baca Juga : Hewan Pengerat Itu Apa, Ya?
Penelitian baru-baru ini juga membuktikan kalau kelinci yang tidak memakan kotoran lembutnya, mengalami penurunan gizi dan berat badan.
Selain kelinci, anak-anak binatang juga makan kotoran dari induk mereka, lo. Misalnya seperti gajah dan kuda nil.
Mereka melakukannya saat mulai belajar mengkonsumsi makanan lembut, selain susu dari induknya.
Baca Juga : Mengenal Cerpelai, Predator Imut Berleher Panjang, Pernah Tahu?
Rupanya, kotoran ini bisa menambah bakteri baik yang membantu pencernaan bayi binatang.
Saat hewan herbivora lesulitan mendapatkan makanan, mereka mengatasinya dengan makan kotoran lembut ini, teman-teman.
Apakah mereka tidak akan sakit, ya?
Selama makanan yang dikonsumsinya sehat dan tidak mengandung bakteri penyakit, maka kotorannya juga tidak akan membuatnya sakit.
Baca Juga : Selain Karnivora dan Herbivora, Ada Juga Frugivora, Nektivora, Granivora, dan Folivora
Lihat video ini juga, yuk!
Source | : | Live Science,National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Avisena Ashari |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR