Aku menggeretakkan gigi kesal. Tadinya aku ingin menangis keras-keras. Tapi kurasa itu akan semakin membuat mereka merasa menang. Karena itu aku menarik napas dengan tenang dan berkata, "Baiklah." Kemudian kulangkahkan kakiku perlahan ke arah gubuk Nenek Rat. Sambil terus berdoa dan memejamkan mata. Semakin dekat dengan pintu gubuk, perutku semakin mual membayangkan sarang semut di kaki Nenek Rat.
Duk! Duk! Duk! Kuketuk pintunya dengan hati berdebar.
"SIAPA KAU?" bentak Nenek Rat begitu pintu terbuka dengan suara keras. Di tangannya tergenggam sebuah pisau daging yang sangat besar. Kudengar Didi, Hari, dan Ano berteriak ketakutan dan lari terbirit-birit meninggalkan kami.
Baca Juga: 5 Tema Cerita yang Menarik untuk Dijadikan Dongeng #MendongenguntukCerdas
"Ehm, ss... saya.... Mita," jawabku tergagap. Nenek Rat memicingkan sebelah matanya sambil mencibir. Aku memandangnya takut-takut, "Saya dengar Nenek tadi batuk-batuk. Saya pikir, Nenek tentu perlu bantuan. Saya selalu membawa obat-obatan di tas." Kuraba dasar tas sekolahku. Aku sedikit lega karena kantung obat yang selalu kubawa tidak tertinggal di meja belajarku.
"Betul begitu?" tanya Nenek Rat ragu. Aku mengangguk memastikan. "Masuklah, Nak!" ujarnya pelan. Aku menahan senyum. Sungguh baru kali ini aku merasa bersyukur karena memiliki Ayah seorang dokter. Ayah setiap hari memaksaku membawa obat-obatan untuk pertolongan pertama.
'Tadinya kukira kau seperti anak-anak lain yang sering mengganggu dan melempari rumahku. Ternyata tidak," katanya lirih. Aku tersenyum iba mendengarnya. Mataku menyapu ruangan dingin dan lembab. Perabotnya hanya sebuah meja reot dan dipan bambu usang.
Terbit Hari Ini, Mengenal Dongeng Seru dari Nusantara di Majalah Bobo Edisi 35, yuk!
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR