Pada zaman dulu drama tari dari Mataram Kuno ada di Jawa Tengah dan dilestarikan oleh kerajaan-kerajaan penerusnya.
Kerajaan penerus itu adalah Kediri, Singasari, dan Majapahit.
Lalu saat Kerajaan Mataram Islam dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang menjadi pendiri dan raja pertama Kesultanan Yogyakarta mengubah kesenian drama tari tersebut.
Perubahan ulang itu dilakukan agar estetis. Sri Sultan Hamengku Buwono I juga melakukan perubahan agar bisa menampilkan sebuah pementasan yang menggambarkan perbuatan kepahlawanan dari para satria pada masa Mahabarata.
Karena itu, pementasan wayang orang menjadi suatu pertunjukan terhormat di Yogyakarta.
Sejak dibentuk ulangnya seni pertunjukan drama tari menjadi wayang orang, pertunjukan ini selalu dimainkan pada acara ritual kenegaraan hingga perayaan penting lainnya.
Bahkan pada acara pernikahan atau ulang tahun anak Sultan, seni pertunjukan ini juga selalu ditampilkan.
Pertunjukan wayang orang ini pertama kali dimainkan di Yogyakarta pada tahun 1757 dengan memainkan lakon Gandawardaya yang merupakan sebuah cabang cerita dari epos Mahabarata.
Pada pertunjukan pertama itu, pola pertunjukan masih sama dengan wayang kulit dengan menggunakan panggung sempit dan panjang.
Bahkan pergerakan pemain masih menggunakan pola dua dimensi saja, mirip wayang kulit.
Seiring berjalannya waktu ada banyak perubahan terjadi pada pola pertunjukan wayang orang.
Baca Juga: Komik Wayang: Pengertian, Contoh, dan Perkembangannya di Indonesia
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Amirul Nisa |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR