Pertanyaan Runi tidak ditanggapi oleh Datuk. Datuk malah makin asyik mengamati arca-arca itu dengan sebuah kaca pembesar. Runi yang merasa diabaikan oleh Datuk segera mencari-cari Rudi yang sudah lebih dulu menghilang.
“Aku suka lukisan itu. Lihat! Keren sekali,” ujar Rudi dari kejauhan. Rudi memang pengagum lukisan. Ia juga suka melukis di waktu luangnya.
“Lukisan yang itu?” tanya Runi bingung.
Runi mengerutkan dahinya. Baginya lukisan itu hanyalah coretan warna-warni di sebuah kanvas. Hanya ukuran kanvas itu yang membuatnya istimewa. Ukurannya besar sekali. Hampir seluruh dinding tertutup hanya oleh lukisan itu. Sementara Datuk dan Rudi asyik mengamati koleksi museum, Runi menjadi bosan berada di situ.
Runi berjalan dengan cepat mengelilingi museum sampai akhirnya dia melihat pintu keluar.
Pintu itu mengarah ke sebuah halaman yang lagi-lagi berhias arca batu. Runi berjalan pelan mengitari halaman itu. Langkahnya terhenti tak jauh dari arca berbentuk sapi.
Duk! Duk! Terdengar suara pukulan. Runi berjalan pelan sambil mengendap-endap. Suara pukulan itu terhenti tepat saat langkah Runi terhenti. Orang yang sedang memukul sebongkah batu itu berhenti karena melihat Runi. Bapak itu membuka masker yang dipakainya.
“Selamat siang, apakah kamu mau mencoba membuat arca?” tanya bapak itu dengan ramah.
Runi tidak menjawab. Pelan-pelan ia melangkah mundur dengan wajah takut.
“Jangan takut. Saya Pak Bambang, pegawai di museum ini. Setiap akhir pekan di museum ini ada kegiatan. Ada membatik, melukis, mengukir kayu, dan memahat batu,” ujar bapak itu.
“Hari ini giliran memahat batu, ya?” tebak Runi.
Baca Juga: Sama-Sama Dongeng, Apa Perbedaan Legenda dan Mite? #MendongenguntukCerdas
Bisa Mengisi Waktu Liburan, Playground Berbasis Sains Interaktif Hadir di Indonesia!
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR