Bobo.id - Tahukah teman-teman bahwa makanan bernama nasi minyak menjadi bahan perbincangan di media sosial?
Nasi minyak yang diberi kucuran minyak bekas menggoreng atau minyak jelantah tersebut menjadi trending.
Menanggapi video tersebut, banyak yang mengkhawatirkan penambahan minyak berlebihan pada makanan.
Sebab, seperti yang kita ketahui, minyak jelantah yang biasanya telah digunakan berulang kali itu tidak baik bagi kesehatan.
Agar lebih bijaksana menyikapi viralnya nasi minyak, kita ketahui bahaya menggunakan minyak jelantah untuk campuran makanan, yuk!
Bahaya Minyak Jelantah bagi Kesehatan?
Lantas, apa saja bahaya menggunakan minyak jelantah atau minyak bekas yang sudah digunakan berulang-ulang?
Menurut Kompas.com, studi menyimpulkan bahwa penggunaan minyak jelantah berpotensi mengkhawatirkan.
Disadur dari Kementerian Kesehatan, minyak jelantah mengandung asam lemak jenuh yang dapat mengakibatkan penyakit berbahaya.
Ciri-ciri minyak jelantah adalah berwarna cokelat gelap, kental, dan berbau tengik.
Apalagi minyak jelantah yang sudah digunakan berulang kali ini umumnya menjadi tempat tumbuhnya berbagai jenis bakteri, termasuk Clostridium botulinium.
Baca Juga: Sering Dilakukan Masyarakat, Berapa Kali Minyak Goreng Bekas Bisa Digunakan Ulang?
Clostridium botulinium adalah bakteri penyebab penyakit yang mendapat makanan dari partikel dan remah-remah sisa gorengan pada wajan atau minyak.
Dengan demikian, menggoreng dengan minyak bekas akan membuat tubuh rentan terkena infeksi bakteri.
Dapat Menyebabkan Kanker
Bahaya mengonsumsi minyak jelantah adalah dapat menyebabkan kanker.
Sebuah penelitian dilakukan pada hewan uji tikus yang diberi makanan yang diolah dengan minyak jelantah.
Tak lama, tumor pada tikus yang diberi makan dari minyak jelantah dapat tumbuh dan menyebar empat kali lebih banyak daripada tikus lainnya.
Melalui penelitian itu, peneliti menarik kesimpulan bahwa penggunaan minyak bekas menggoreng berpengaruh pada penyebaran kanker yang sudah ada.
Memiliki Sifat Karsinogen
Bukan hanya mengembangkan kanker yang sudah ada, penggunaan minyak jelantah dalam jangka waktu lama juga memicu beragam penyakit karena bersifat karsinogen.
Sel yang sehat pun dapat berubah menjadi sel tumor yang berkembang menjadi kanker.
Menurut Medical News Today, memanaskan kembali minyak goreng akan mengubah komposisinya.
Baca Juga: Jangan Langsung Dibuang, Ini 5 Manfaat Minyak Jelantah untuk Keperluan Sehari-hari
Setelah dipanaskan kembali, racun yang disebut dengan akrolein atau dikenal dengan potensi karsinogenik akan meningkat.
Paparan akrolein dalam jangka panjang bisa memicu peradangan dan kanker serta meningkatkan risiko penyakit jantung.
Meningkatkan Kolesterol
Pada dasarnya, mengonsumsi gorengan atau makanan dengan minyak berlebihan sangat berpengaruh terhadap kenaikan kolesterol.
Suhu tinggi yang digunakan untuk memasak dan penggunaan minyak berkali-kali akan mengakibatkan ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh rusak, sehingga hanya menyisakan asam lemak jenuh.
Penggunaan minyak jelantah juga akan menyebabkan penumpukan lemak, termasuk asam miristat, asam palmitat, asam laurat dan asam kaprat.
Jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih, makanan jenis ini bisa meningkatkan kadar kolesterol dalam darah.
Sebab, lemak jenuh mengalami hidrolisis selama proses pencernaan, yaitu diubah menjadi molekul seperti endapan yang ditimbun di sel dan jaringan lemak.
Nah, itulah bahaya mengonsumsi minyak jelantah atau bekas menggoreng pada kesehatan tubuh.
Sebaiknya, kita menghindari makanan sejenis, ya!
(Penulis : Diva Lufiana Putri / Niken Bestari)
Baca Juga: Hemat Minyak di Dapur, Ini 4 Bahan yang Bisa Bantu Jernihkan Minyak Jelantah
----
Kuis! |
Apa bakteri yang mudah berkembang di minyak jelantah? |
Petunjuk: cek di halaman 1! |
Lihat juga video ini, yuk!
----
Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.
Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.
Source | : | Kompas |
Penulis | : | Niken Bestari |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR