"Huuh, panas sekali!" seru Aresta.
"lya," sahut Felicia. "Coba ada awan yang selalu memayungi langkah kita. Pasti matahari tidak akan bersinar begitu terik."
"Ini pasti ulah Penyapu Awan!" gerutu Aresta. Felicia menoleh. "Siapa dia?"
"Ah, dia hanya si jelek tukang menyapu awan-awan yang seharusnya meneduhkan kita!" kata Aresta.
Apa? Aresta menyebutku si jelek? Tentu saja aku sebal mendengar obrolan kedua anak itu. Huh, mereka cuma iri padaku! Pasti karena aku lebih cantik.
Hmm, aku ingin membalas kata-kata mereka yang kasar itu. Pelan-pelan, aku mengambil sapuku.
Awan-awan yang sudah ku kumpulkan di sudut langit aku acak-acak lagi. Nah, sekarang awan bertebaran di mana-mana. Hihi, pasti sebentar lagi turun hujan.
Duarr! Benar saja! Petir, temanku, mulai menepukkan tangannya hingga mengeluarkan bunyi keras.
Hahaha... aku tertawa melihat Aresta dan Felicia lari mencari tempat perlindungan. Aku tambah awan lagi, ah!
Duarr! Petir kembali menepukkan tangannya. Kini, hujan rintik- rintik mulai turun.
Semakin lama, semakin deras. Hahaha... aku terpingkal-pingkal melihat Aresta dan Felicia berlari dengan tubuh basah kuyup. Rasakan pembalasanku!
Baca Juga: Dongeng Anak: Pahitnya Buah Maja #MendongenguntukCerdas
Penulis | : | Iveta Rahmalia |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR