"Pohon ini saya tanam bukan untuk saya sendiri Pak Grutu. Tetapi untuk anak cucu!" jawab Pak Karjo bijak.
Pak Grutu bertambah bingung. Bukankah Pak Karjo tak punya keturunan? Sejak istrinya meninggal dunia beberapa tahun silam, Pak Karjo hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Pak Grutu menggeleng-geleng Kepala keheranan. Beberapa bulan kemudian, sakit Pak Karjo bertambah parah. Akhirnya ia meninggal dunia. Seluruh penduduk desa merasa kehilangan Pak Karjo yang ramah dan sederhana itu.
Tahun demi tahun berlalu, Pohon Pak Karjo tumbuh besar dan berbuah lebat. Dahan dan rantingnya yang merunduk menjulurkan mangga-mangga yang ranum dan lezat. Para penduduk desa berebut ingin mencicipinya, hingga akhirnya mangga-mangga itu dibagikan sama rata. Tapi anehnya, buah itu tak pernah habis walau terus menerus dipetik. Bahkan beberapa warga membuatnya untuk manisan dan dijual di pasar.
Sama seperti penduduk desa lainnya, anak dan cucu Pak Grutu juga sangat menyukai buah manga Pak Karjo. Tapi setiap kali mendapat jatah mangga, Pak Grutu menggelengkan kepala.
"Aku tidak suka buah mangga, cuma membuat sakit perut saja!" katanya dengan wajah cemberut seperti biasa.
Suatu ketika salah seorang anak Pak Grutu membuat masakan istimewa. Bu Grutu mengajak keluarganya makan siang sambil menggelar tikar di bawah pohon mangga Pak Karjo yang rimbun dan teduh. Pak Grutu menolak.
"Banyak hantu di sana!" ujarnya beralasan.
Diam-diam Pak Grutu mengintip dari balik jendela. Istri dan anakanaknya tampak asyik makan siang di bawah pohon mangga sambil ngobrol. Sementara cucu-cucunya berlarian dan bermain-main dengan riang gembira.
Dalam hati Pak Grutu merenung. Ternyata kerja keras Pak Karjo tak siasia. Seluruh penduduk desa dapat merasakan hasilnya, termasuk anak dan cucu Pak Grutu sendiri. Walau Pak Karjo tak punya keturunan, tapi ia menganggap seluruh generasi muda di desa itu sebagai anak dan cucunya. Ternyata hingga akhir hayatnya Pak Karjo masih menanam amal kebajikan. Buah kerja kerasnya tak habis-habis dipetik sampai sekarang. Bahkan mungkin dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Pak Grutu menatap sekeranjang mangga di atas meja. Ah, tampak menggiurkan! Pak Grutu mencicipi sebuah. Hmm,... rasanya manis menyegarkan. Pak Grutu mengupas sebuah mangga lagi.Tapi tiba-tiba
"Lo Pak, katanya tidak suka mangga?" Bu Grutu muncul di muka pintu. Pak Grutu gelagapan.
Baca Juga: Cerpen Anak: Puasa Setengah Hari
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR